FILSAFAT DAN PSIKOLOGI ETNOMATEMATIKA
Tugas mata kuliah Prof. Dr Marsigit , MA
PENDAHULUAN
Etnomatematika adalah sebuah inovsi dalam pembelajaran matematika. Etnomatematika di suatu daerah tentunya akan berbeda dengan daerah yang lain. Keragaman budaya akan mempengaruhi cara belajar dengan menggunakan etnomatematika.
Dengan menerapakan etnomatematika, kemampuan
dan minat siswa dalam belajar matematika menjadi maksimal. Hal tersebut
disebabkan etnomatematika memberikan masalah konstektual yang berkaitan dengan
budaya mereka sehari-hari sehingga siswa akan merasakan bahwa matematika hadir
di sekitar mereka. Kegiatan berhitung,
mengambil data, mengolah data dan menafsirkan data akan mereka lakukan selama
proses pembelajaran matematika berlangsung.
The
National Council of Tecaher of Mathetmatics atau NCTM dalam Principles and
Standard For School Marhematics menyatakan bahwa
proses pembelajaran matematika hendaknya
memfasilitasi kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan
penalaran (reasoning), kemampuan komunikasi
(communication), kemampuan koneksi (connection),
dan kemampuan representasi (representation). Kemampuan dapat te,rfasilitasi
dengan pembelajaran berbasis etnomatematika.
Hal tersebut selaras dengan etnomatematika yang dideskripsikan Marsigit (2018), bahwa Etnomatematika hanyalah relevan untuk pembelajaran matematika dengan ranah Matematika Sekolah, dan mendeskripsikan temuan sbb:
1. Pembelajaran Matematika Berbasis Etnomatematika Selaras Dengan Hakikat Matematika Sekolah
a. Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan
b. Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi,
c. Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving)
d. Matematika sebagai alat berkomunikasi
Pembelajaran Matematika Berbasis Etnomatematika Selaras dengan Hakikat Siswa Belajar Matematika yang dimaksud oleh NCTM.
Kemudian Ebbutt dan Straker (dalam Marsigit, 2017) memberikan pandangannya bahwa agar potensi siswa dapat dikembangkan secara optimal, maka asumsi dan implikasi berikut dapat dijadikan sebagai referensi :
a. Murid akan belajar jika mendapat MOTIVASI.
b. Cara Belajar Siswa Bersifat Unik
c. Siswa Belajar Matematika melalui Kerjasama
d. Murid memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam belajarnya.
Kata “Ethnomatematics” terbentuk dari beberapa kata yaitu “ethno” yang berarti suatu kelompok kebudayaan dari suatu suku beserta profesi masyarakat dan bahasa yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selanjutnya kata “mathema” adalah menjelaskan, mengartikan, dan mengelolakan hal-hal yang ditemui dengan aktivitas menghitung, mengukur, mengklasifikasikan, mengurutkan serta memodelkan pola-pola tertentu pada suatu lingkungan. Terakhir, “tics” adalah suatu teknik didalam seni (Pratiwi, 2019)
Selanjutnya menurut D’Ambrosio ( dalam Fajriyah, 2018) etnomatematika bertujuan untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan modus yang berbeda dimana budaya yang berbeda merundingkan praktik matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya) .
FILSAFAT ETNOMATEMATIKA
Etnomatematika dalam perspektif filsafat yang akan dikaji adalah dalam perspektif filsafat perenialisme. Menurut Francois, penggunaan ethnomatematika yang sesuai dengan keanekaragaman budaya siswa dan dengan suatu praktek matematika dalam keseharian siswa membawa matematika lebih dekatdengan lingkungan siswa dikarenakan secara implisit ethnomatematika merupakan suatu kegiatan yang menghantarkan nilai-nilai dan pendidikan dalam matematika (dalam Pratiwi, 2019)
Dalam teori belajar Perenialisme siswa dibebaskan menggunakan cara dan media sendiri dalam belajar. Etnomatematika adalah salah satu solusi agar proses belajar dapat memfasilitasi proses belajar siswa yang berdasarkan kemerdekaan belajar.
Filsafat perenial pertama kali dikenalkan oleh Santo Augustinus Steuchus pada tahun1497-1548 melalui karyanya “De Perenni Philosophia” (Bisri,2018). Perenialisme adalah suatu aliran filsafat yang berdasarkan pada satu kesatuan yang tidak berarti bercerai-beraikan atau tidak membanding-bandingkan, dengan kata lain makna sesungguhnya adalah hasil dari pemikiran seseorang untuk bersikap tegas dan lurus (Pratiwi, 2019).
Perenialisme terhadap pendidikan yang progresif lahir akibat reaksi dan solusi dari penyebab suatu keadaan yang memiliki pengaruh kehidupan manusia saat ini oleh krisisnya kebudayaan. Kaum perenialisme memiliki pendapat yang berbeda dengan kaum modernistic dengan bercirikan menjauh tradisi lama dan lebih mengutamakan pada sumber pengetahuan lainnya dengan menggunakan logika dan rasio serta memandang dengan materi (Habsari, 2013)
Para penganut perenialisme percaya bahwa aksiomatis dizaman kuno serta dari abad pertengahan dapat dijadikan penyusunan dasar konsep filsafat dan pendidikan dizaman sekarang, sehingga sumber asal filsafat perenialisme terdiri dari dua filsafat kebudayaan yaitu perenialisme -teologis dari gereja Katholik oleh Thomas Aquinas dan perenialisme sekuler berpegang teguh pada ide dan cita oleh filsafat Plato dan Aristoteles (Jalaluddin & Idi, dalam Pratiwi 2019).
Tujuan pendidikan menurut pemikiran perenialisme adalah siswa dapat memperoleh pengetahuan yang konsisten dan belajar secara menyenangkan dengan cara mereka sendiri. Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap dan tidak berubah sedikitpun atau abadi; menjadi suatu gagasan besar terus memiliki potensi yang sangat besar untuk memecahkan masalah yang timbul pada setiap zaman (Sadullah,dalam Pratiwi 2019). Tujuan pendidikan menurut perenialisme yang dikemukakan oleh Jalaludin dan Idi adalah mewujudkan anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Dengan mengembangkan akalnya maka akan dapatmempertinggi kemampuan akalnya .
1. Menurut perenialisme tuntutan yang paling tinggi dalam kegiatan belajar adalah latihan dan disiplin mental. Maka teori dan praktek pendidikan haruslah mengarah pada tuntutan tersebut. Adapun teori dasar dalam belajar menurut perenialisme (Sulaiman, dalam Pratiwi 2019):
2. Mental Disipline sebagai teori dasar. Penganut perenialisme berpendapat bahwa aktivitas latihan dan pembinaan berpikir (Mental Displine) adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar atau keutamaan dalam proses belajar (yang tinggi).
3. Rasionalitas dan Asas kemerdekaan. Penganut perenialsme menekankan sebagai prinsip utama bahwa asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Dan makna kemerdekaan pendidikan telah membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri. Fungsi belajar juga diartikan sebagai aktualitas manusia atau makhluk rasional yang bersifat merdeka.
4. Belajar untuk berpikir. Pandangan perenialisme pada teori dasar ini mempercayai bahwa pendidikan anak bermula pada kebiasaan anak, landasan dasar asas tersebut mencakup seperti dapat membaca, menulis dan berhitung.
5. Belajar sebagai persiapan hidup. Belajar untuk berpikir berarti pula guna memenuhi fungsi practical philosopy baik etika, sosial politik, ilmu dan seni, maka berarti memenuhi fungsi kehidupan manusia didalam kebudayaan.
6. Learning Though Teaching (belajar melalui pengajaran). Perenialisme cenderung membandingkan the art teaching and the art medicine, seni mendidik dan seni dalam kesehatan (pengobatan, kedokteran).
Perenialisme adalah pandangan yang mempengaruhi pembelajaran matematika, menurut perenialisme pembelajaran matematika harus berasaskan rasionalisme dan kemerdekaan belajar melalui budaya dan lingkungan sekitar. Proses belajar dilaksanakan melalui pengalaman dan berlanjut pada proses latihan dan pembinaan berpikir. Dalam proses pembelajaran etnomatematika yang berlandaskan perenialisme peran utama dipegang oleh siswa dan guru hanya sebagai pembimbing atau fasilitator.
PSIKOLOGI ETNOMATEMATIKA
Pembelajaran matematika disekolah hendaknya memperhatikan aspek psikologis dari peserta didik. Proses pembelajaran matematika harus sesuai dengan tahap-tahap perkembangan siswa. Hal ini bertujuan agar kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dapat maksimal.
Psikologi pendidikan merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, karena prinsip yang terkandung dalam psikologi pendidikan dapat dijadikan landasan berfikir dan bertindak dalam mengelola proses belajar-mengajar, yang merupakan unsur utama dalam pelaksanaan setiap system pendidikan (Risnawati & Amir, 2015)
Pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang untuk mengembangkan kreatifitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat mengkonstruksi pengetahuan yang baru.
Beberapa teori psikologi digunakan sebagai acuan dalam proses pembelajaran matematika, diantaranya adalah teori Jean Piaget.
Piaget mengenalkan teori schemata. Skemata adalah struktur kognitif berupa ide, konsep, prinsip, dan gagasan. Skema berkembang secara terus menerus yang dipengaruhi oleh tiga proses yaitu:
1. Asimilasi
Asimilasi adalah proses pengintegrasian konsep atau pengalaman baru kedalam struktur kognitif yang telah ada dalam pikiran.
2. Akomodasi
Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru sehingga struktur mental baru terbentuk atau termodivikasi.
3. Equilibrasi
Ekuilibrasi adalah proses yang terjadi pada
seseorang untuk mempertahankan
proses-proses pikiran yang seimbang yang melibatkan asimilasi dan akomodasi.
Menurut Piaget setiap individu melewati empat tahap
perkembangan kognitif secara berurutan yaitu
1. tahap sensorimotor (0-2tahun)
2. tahap Pra-operasional (2-7 tahun)
Anak pada tahap pra-operasional mulai dapat membilang dengan menggunakan benda-bendakonkret dan dapat mengelompokkan benda-benda berdasarkan satu sifatkhusus yang sederhana.
3. tahap operasional-konkret (7-11 tahun)
Tahap operasional-konkret adalah tahap perkembangan anak Sekolah Dasar (SD), yang umumnya memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkret, memahami konsep kekekalan, kemampuan mengaklasifikasi benda-benda dan mengurutkan objek, mampu melihat sudut pandang orang lain, dapat menyelesaikan soal-soal seperti + 3 = 9, dapat menggunakan tambang panjang 3, 4, dan 5m dan bilangan pytagoras lainnya untuk membuat segitiga siku-siku, dapat memanipulasi benda, dan dapat memberikan alasan deduktif dan induktif.
4. tahap operasional formal (11-dewasa).
Anak pada tahap operasi formal sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak, dapat merumuskan dalil/ teori (misalnya dalil pythagoras), dapat memandang definisi, aturan, dan dalil dalam konteks yang benar dan objektif, dapat berpikir deduktif dan induktif, anak dewasa mampu mengerti konteks kompleks seperti permutasi, kombinasi, perbandingan, korelasi dan probabilitas, dan dapat mengerti besar tak hingga dan kecil tak hingga.
Kemudian teori psikologi menurut Jerome S. Bruner, menurutnya anak dalam proses belajarnya melalui 3 tahap yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik.
1. Tahap enaktif,
Pada tahap enaktif
anak secara langsung terlibat dalam
memanipulasi (mengotak-atik) objek.
2. Tahap ikonik,
Pada tahap ikonik kegiatan yang dilakukan merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
3. Tahap simbolik,
Pada
tahap simbolik anak sudah mampu
menggunakan notasi tanpa tergantung lagi terhadap objek nyata.
Jika mengacu pada teori Jeans Piaget anak usia sekolah berada pada tahap operasional konkret dan operasional formal. Oleh karena itu proses pembelajaran matematika harus disesuaikan dengan tahap perkembangan tersebut sehingga siswa dapat memaksimalkan daya matematikanya. Pertimbngan psikologis ini juga memandang kesiapan emosi siswa dan diharapkan menumbuhkan minat dan motivasi siswa dalama belajar matematika sehingga memiliki daya matematika untuk menghadapi dunia luar seperti memecahkan masalah, bekerjasama, dan berkomunikasi.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar