Jumat, 10 Juni 2022


EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN METODE PROBLEM BASED LEARNING DAN DISCOVERY LEARNING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA DI MASA PANDEMI

Disusun guna memenuhi tugas akhir Daya Matematika

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Fakultas, Jurusan Dan Logo UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) - rekreartiveLogo-UNY-Universitas-Negeri-Yogyakarta-Hitam-Putih.png

Nama                           : Ardiana Purnamasari

NIM                            : 21309251060

Kelas                           : C

 

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2021

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pelajaran matematika disekolah masih dianggap sebagai pelajaran yang sulit oleh siswa. Anggapan tersebut muncul karena masih banyak guru di sekolah yang menggunakan metode pembelajaran konvensional. Akibatnya matematika hanya sebatas teori dan siswa hanya menghafal rumus-rumus yang diberikan guru. Hal tersebut menjadikan pembelajaran kurang bermakna.  Paradigma pembelajaran matematika yang tadinya berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa. Guru seharusnya hanya sebagai fasilitator. Siswa harus berperan aktif dalam pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Pembelajaran bermakna menurut Ausubel (1963) merupakan proses mengaitkan informasi atau materi baru dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kebermaknaan dalam suatu pembelajaran, yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Pembelajaran bermakna berkaitan erat dengan pembelajaran konstruktivisme. Paham ini berpendapat bahwa siswa mengkonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks sosial. Teori belajar ini merupakan teori tentang penciptaan makna. Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh Piaget (Piagetian Psychological Constructivism) yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui dan dipercayai dengan fenomena, ide atau informasi baru yang dipelajari. Piaget menjelaskan bahwa setiap siswa membawa pengertian dan pengetahuan awal yang sudah dimilikinya ke dalam setiap proses belajar yang harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi yang dijumpai dalam proses belajar. Itulah sebabnya Vygotsky menyatakan bahwa proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu dan melalui interaksi dalam suatu konteks social.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang menggunakan paham konstruktivisme adalah pendekatan saintifik. Menurut Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014, pendekatan saintifik dioperasionalisasikan dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang di dalamnya memuat pengalaman belajar dalam bentuk kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan  informasi (mencoba), menalar (mengasosiasi), dan mengomunikasikan. Untuk mendapatkan kelima pengalaman tersebut, Permendikbud No 22 Tahun 2016, merekomendasikan agar diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning), pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem based learning, dan pembelajaran berbasis proyek (project based learning). Dalam penelitian akan dilakasanakan pembelajaran dengan Problem Based Learning  dan Discovery Learning.

Perlunya diterapkan pendekatan saintifik karena daya matematis siswa masih kurang. Daya matematis menurut NCTM terdiri dari kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, kemampuan koneksi, kemampuan penalaran dan representasi matematis. Sedangkan dalam NAEP Mathematics mendefiniikan daya matematis sebagai kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, dan kemampuan penalaran. Penelitian Setyaningsih,et.all (2021)  menunjukan Kurangnya pemahaman dan ketelitian siswa dalam proses pemecahan masalah. Penelitian Perwitasari, et.al (2017) mengungkapkan bahwa kemampuan komunikasi siswa dalam pembelajaran masih kurang. Penelitian dari Taubah (2018) menunjukan bahwa bahwa guru lebih sering mengajar siswa dengan memberikan sebuah jawaban yang benar dan siswa tidak dapat dengan bebas mengungkapkan pemikirannya tentang masalah sehingga siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dari beberapa penelitian tersebut menunjukan masih kurangnya kemampuan siswa dalam aspek-aspek yang terdapat dalam pengertian daya matematis. Oleh karena itu sangat diperlukan upaya untuk meningkatkan daya matematis siswa. Salah satu cara untuk meningkatkan daya matematis adalah dengan menerapkan pendekatan saintifik.

Penelitian Musta’in (2015) Pembelajaran geometri tentang sifat-sifat bangun datar yang kurang begitu memuaskan. Dari analisis evaluasi hasil belajar yang dilakukan peneliti menemukan bahwa rendahnya hasil belajar siswa tersebut dikarenakan siswa tidak memahami materi geometri tentang sifat-sifat bangun datar. Kemudian penelitian Jamaludin (2021) menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pada materi segiempat masih kurang maksimal.  Materi bangun datar erat kaitannya dengan benda-benda yang ada di sekitar siswa. Jika pembelajaran melibatkan benda-benda yang ada disekitar siswa kebermaknaan proses belajar akan dirasakan sehingga diharapkan siswa dapat lebih memahami materi Bangun Datar. Melihat kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal mengenai bangun datar penelitian ini akan difokuskan pada materi Bangun Datar kelas VII.

Tantangan terbaru dalam dunia pendidikan saat ini adalah kondisi pandemi yang mengharuskan manusia membatasi aktivitas, termasuk aktivitas belajar mengajar yang juga harus dilangsungkan dengan jarak jauh. Guru dituntut mampu melaksanakan pembelajaran dalam jaringan internet (daring). Pembelajaran melalui daring dapat dilaksankan dengan media WA, Zoom, E-learning atau media jejaring sosial lainnya.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1.      Siswa kesulitan dalam menyelesaikan masalah terkait materi Bangun Datar

2.      Kurangnya kemampuan pemecahan masalah yang merupakan salah satu aspek daya matematika siswa dalam pelajaran Matematika

3.      Kurangnya kemampuan komunikasi matematis sebagai salah satu aspek daya matematika siswa dalam pembelajaran .

4.      Guru lebih sering mengajar siswa dengan memberikan sebuah jawaban yang benar dan siswa tidak dapat dengan bebas mengungkapkan pemikirannya tentang masalah yang diberikan.

C. RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning efektif dalam meningkatkan daya matematika pada aspek pemecahan masalah?

2.      Apakah model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning efekti dalam meningkatkan daya matematika pada aspek komunikasi?

3.      Lebih baik mana antara Problem Based Learning dan Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa dengan kemampuan komunikasi siswa?

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KAJIAN TEORI

1.    Keefektifan Pembelajaran Matematika SMP

a.    Pengertian Pembelajaran Matematika

 Pembelajaran dalam bahasa inggris adalah instruction, yang berarti proses membuat orang belajar.  Dick et al. (2001:2) menyatakan bahwa “a more contempory view of instruction is that it is a systematic process in which every component (i.e., teacher, learners, materials, and learning evironment) is crucial to successful learning”. Maknanya  pembelajaran adalah suatu proses yang sistematis di mana setiap komponen (yaitu, guru, pelajar, bahan, dan lingkungan belajar) sangat penting untuk sukses belajar. 

Menurut Oemar Hamalik (2005: 57) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat peserta didik belajar secara aktif, yang menekankan penyediaan sumber belajar (Dimyati & Mudjiono, 2006: 297).

Proses pembelajaran dapat terselenggara secara lancar, efektif, dan efisien dengan adanya interaksi yang positif, konstruktif, dan produktif antara berbagai komponen yang terkandung dalam sistem pembelajaran tersebut termasuk yang paling utama adalah antara guru dengan peserta didik. Pembelajaran merupakan  sebuah program pendidikan yang sengaja diselenggarakan untuk mencapai sejumlah tujuan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses yang sengaja disusun  untuk mencapai tujuan pembelajaran serta agar peserta didik dapat menerapkan pengetahuan dan mengkonstruksi pengetahuan baru dalam kegiatan belajarnya.

b.    Pembelajaran Matematika SMP

1)   Matematika SMP

Matematika perlu  diberikan  kepada  semua  peserta  didik  mulai  dari  sekolah  dasar untuk  membekali  peserta  didik  dengan  kemampuan  berpikir  logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Van de Walle (2008: 13), menyatakan matematika adalah ilmu tentang pola dan aturan.  Matematika  merupakan  ilmu  tentang  sesuatu  yang memiliki  pola  keteraturan  dan  urutan  yang  logis. 

Matematika yang dipelajari pada jenjang pendidikan disebut dengan matematika sekolah. Matematika sekolah merupakan bagian dari matematika dalam satuan pendidikan tertentu yang disesuaikan dengan perkembangan kognitif peserta didik.

Romberg dan Kaput (2009:5) mengatakan bahwa matematika sekolah merupakan suatu kegiatan manusia yang mencerminkan hasil karya matematikawan yakni mencari tahu mengapa dan bagaimana suatu teknik atau trik tertentu dapat bekerja, menemukan trik baru, membenarkan pertanyaan, dan lain sebagainya. Pembelajaran matematika juga harus mencerminkan bagaimana pengguna matematika menyelidiki situasi masalah, menentukan variabel-variabel, melakukan perhitungan, dan memverifikasi kebenaran prediksi tersebut.

Tujuan pelajaran matematika di sekolah menurut Permendiknas Nomor 58 tahun 2013 tentang standar isi, agar peserta didik memiliki kemampuan  sebagai berikut:

1.    Memahamikonsep matematika, merupakan kompetensi dalam menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan menggunakan konsep maupun  algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari

b.   mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut

c.    mengidentifikasi sifat-sifat operasi atau konsep

d.   menerapkan konsep secara logis.

e.    memberikan contoh atau contoh kontra (bukan contoh) dari konsep yang dipelajari

f.    menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematis (tabel, grafik, diagram, gambar, sketsa, model matematika, atau cara lainnya)

g.   mengaitkan berbagai konsep dalam matematika maupun di luar matematika.

h.   mengembangkan syarat perlu dan /atau syarat cukup suatu konsep

2.    Termasuk dalam kecakapan ini adalah melakukan algoritma atau prosedur, yaitu kompetensi yang ditunjukkan saat  bekerja dan menerapkan konsep-konsep matematika seperti  melakukan operasi hitung, melakukan operasi aljabar, melakukan manipulasi aljabar, dan keterampilan melakukan pengukuran dan melukis/ menggambarkan /merepresentasikan konsep keruangan. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur/algoritma

b.   memodifikasi atau memperhalus prosedur

c.    mengembangkan prosedur

d.   Menggunakan matematika dalam konteks matematika seperti melakukan operasi matematika yang standar ataupun tidak standar (manipulasi aljabar) dalam menyelesaikan masalah matematika

3.    Menggunakan pola sebagai dugaan dalam  penyelesaian masalah, dan mampu membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada.Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    mengajukan dugaan (conjecture)

b.   menarik kesimpulan dari suatu pernyataan

c.    memberikan alternatif bagi suatu argumen

d.   menemukan pola pada suatu gejala matematis

4.    Menggunakan penalaran pada sifat, melakukan manipulasi matematika baik dalam penyederhanaan, maupun menganalisa komponen yang ada dalam pemecahan masalah dalam konteks matematika maupun di luar matematika (kehidupan nyata, ilmu, dan teknologi) yang meliputi kemampuan memahami masalah, membangun model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperolehtermasuk dalam rangka memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (dunia nyata). Masalah ada yang bersifat rutin maupun yang tidak rutin. Masalah tidak rutin adalah masalah baru bagi siswa, dalam arti memiliki tipe yang berbeda dari masalah-masalah yang telah dikenal siswa. Untuk menyelesaikan masalah tidak rutin, tidak cukup bagi siswa untuk meniru cara penyelesaian masalah-masalah yang telah dikenalnya, melainkan ia harus melakukan usaha-usaha tambahan, misalnya dengan melakukan modifikasi pada cara penyelesaian masalah yang telah dikenalnya, atau memecah masalah tidak rutin itu ke dalam beberapa masalah yang telah dikenalnya, atau merumuskan ulang masalah tidak rutin itu menjadi masalah yang telah dikenalnya. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    memahami masalah

b.   mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam mengidentifikasi masalah.

c.    menyajikan suatu rumusan masalah secara matematis dalam berbagai bentuk

d.   memilih pendekatan dan strategi yang tepat untuk memecahkan masalah

e.    menggunakan atau mengembangkan strategi pemecahan masalah

f.    menafsirkan hasil jawaban yang diperoleh untuk memecahkan masalah

g.   menyelesaikan masalah.

5.    Mengkomunikasikan gagasan,penalaran serta mampu menyusun bukti matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan

b.   Menduga dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture)

c.    memeriksa kesahihan atau kebenaran suatu argumen dengan penalaran induksi

d.   Menurunkan atau membuktikan rumus dengan penalaran deduksi

e.    Menduga dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture)

6.    Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    memiliki rasa ingin tahu yang tinggi

b.   bersikap penuh perhatian dalam belajar matematika

c.    bersikap antusias dalam belajar matematika

d.   bersikap gigih dalam menghadapi permasalahan

e.    memiliki penuh percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah

7.    Memiliki sikap dan perilaku  yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika dan pembelajarannya, seperti taat azas, konsisten,  menjunjung tinggi kesepakatan, toleran, menghargai pendapat orang lain, santun, demokrasi, ulet, tangguh, kreatif, menghargai kesemestaan (konteks, lingkungan), kerjasama, adil, jujur, teliti, cermat, bersikap luwes dan terbuka, memiliki kemauan berbagi rasa dengan orang lain

8.    Melakukan kegiatan–kegiatan motorik yang menggunakan pengetahuan matematika

9.    Menggunakan alat peraga sederhana  maupun hasil teknologi untuk melakukan kegiatan-kegiatan matematika. Kecakapan atau kemampuan-kemampuan tersebut saling terkait erat, yang satu memperkuat sekaligus membutuhkan yang lain. Sekalipun tidak dikemukakan secara eksplisit, kemampuan berkomunikasi muncul dan diperlukan di berbagai kecakapan, misalnya untuk menjelaskan gagasan pada Pemahaman Konseptual, menyajikan rumusan dan penyelesaian masalah, atau mengemukakan argumen pada penalaran.

 

Pada satuan pendidikan SMP materi yang dipelajari meliputi: bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, statistika dan peluang.

Matematika sekolah memiliki karakteritik tertentu, Okuba (2007: 241) menjelaskan salah satu karakteristik dari matematika sekolah adalah isi pembelajaran di setiap kelas didasarkan pada apa yang anak-anak pelajari pada tahun sebelumnya atau sebelumnya pada tahun yang sama, yang melibatkan tahap baru belajar. Pemahaman isi yang cukup dan prosedur sangat penting bagi siswa untuk melakukan aktivitas pemecahan masalah selanjutnya. Matematika merupakan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol, jadi konsep-konsep matematika harus dipahami lebih dulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu sendiri. Seseorang belajar mengkontruksi pengetahuannya didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.

Matematika SMP merupakan ilmu  yang memiliki  pola  keteraturan  dan  urutan  yang  logis bertujuan untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain serta berpadu pada perkembangan IPTEK yang disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa SMP.

c.    Keefektifan Pembelajaran Matematika SMP

Keefektifan pembelajaran merupakan cita-cita dan harapan sekolah sebagai institusi, masyarakat, keluarga, secara khusus guru dan siswa. Keefektifan dapat dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan atau taraf yang telah ditetapkan atau taraf yang telah berhasil dicapai. Dalam menilai keefektifan, dilakukan dengan membandingkan hasil nyata yang telah dicapai dengan hasil ideal yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai tersebut menjadi indikator berhasil tidaknya suatu kegiatan.

Keefektifan kegiatan pembelajaran dapat ditinjau dari  dua aspek penting yaitu kegiatan pengajaran guru dan kegiatan belajar siswa. Aspek ini melihat kemampuan siswa dalam menyerap atau memahami materi yang disampaikan guru.Proses pembelajaran diawali dengan penyusunan rencana pembelajaran dan rencana evaluasi pembelajaran. Maksud dan tujuan penyusunan rencana pembelajaran agar menciptakan aktivitas yang mendukung  tujuan  utama yaitu membantu siswa belajar matematika. Siswa dapat belajar dengan baik apabila guru mempersiapkan rencana pembelajaran dengan baik pula. Sementara itu, evaluasi pembelajaran dilaksanakan setelah berakhirnya proses pembelajaran.

Menurut Muijs & Reynolds (2005: 2) terdapat 8 karakteristik guru yang efektif yakni:

1) Teacher having responsibility for ordering activities during the day for pupils, i.e structured teaching. 2) pupils having some responsibility for their work and independence whitin these secions, 3) teacher covering only one curriculum area  at a time, 4) High levels of interaction with the whole class, 5) teacher providing ample, challenging work, 6) high level of pupils involvement in tasks, 7) a positive atmosphere in the classroom, and 8) teacher showing high level of praise and encouragement.

 

Makna dari pernyataan di atas adalah terdapat 8 karakteristik guru yang efektif sebagai berikut: 1) guru bertanggung jawab memerintahkan berbagai kegiatan selama jam sekolah, yakni mengajar yang berstruktur, 2) siswa memiliki tanggung jawab atas tugasnya dan bersikap mandiri selama sesi-sesi tugas tersebut,  3) setiap guru hanya mengampu satu mata pelajaran saja, 4) interaksi yang tinggi dengan seluruh kelas, 5)guru memberikan banyak tugas yang menantang, 6) keterlibatan murid yang tinggi diberbagai tugas, 7) atmosfir yang positif di kelas,  8) guru menunjukkan penghargaan dan dorongan yang besar kepada anak didiknya.

Montimore (Muijs & Reynolds, 2005: 3) menyimpulkan  faktor-faktor kelas yang berkontribusi pada hasil pembelajaran yang efektif dipihak murid adalah sesi yang terstruktur, cara mengajar yang menantang secara intelektual, lingkungan yang berorientasi pada tugas, komunikasiantara guru dan murid, dan fokus yang terbatas pada setiap sesi. Jika dipandang sebagai sebuah interaksi maka keefektifan pembelajaran bergantung pada guru.

Keefektifan pembelajaran merupakan pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Aktifitas yang  terprogram dengan baik, secara teratur dan berstruktur merupakan syarat agar dengan mudah menentukan tingkat pencapaian tujuan. melaksanakan proses pembelajaran sesuai skenario, dan melakukan evaluasi proses dan hasil belajar siswa. Keefektifan pendekatan pembelajaran mengacu pada ketuntasan belajar siswa. Ketuntasan belajar diartikan sebagai pencapaian kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran baik secara perorangan maupun secara kelompok. Menurut Djemari Mardapi (2008: 137) batas penguasaan standar keberhasilan adalah 75%. Jika 75% siswa tuntas dalam belajar maka pendekatan pembelajaran dikatakan efektif. Namun jika ketuntasan tidak mencapai 75% maka pendekatan pembelajaran dikatakan tidak efektif. Siswa dinyatakan tuntas dalam belajar jika mencapai standar yang minimal yang ditetapkan oleh sekolah.

Dalam penelitian ini, keefektifan pembelajaran matematika SMP adalah pencapaian tujuan pembelajaran secara tepat berdasarkan kriteria ketuntasan minimal dan indikator yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran matematika SMP baik secara perorangan maupun secara kelompok melalui proses kegiatan belajar matematika.

2.    Problem Based Learning

Model problem based learning biasa disebut dengan model
pembelajaran berbasis masalah. Darmadi (2017:117) menyatakan pembelajaran
berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan
masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Masalah yang
diberikan bertujuan membanguan rasa ingin tahu pada materi
pembelajaran yang dipelajari sehingga peserta didik dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada pembelajaran Problem Based learning Peserta didik didorong untuk bertanggungjawab terhadap kelompoknya dan
mengorganisir proses pembelajaran dengan bantuan instruktur atau guru.
            Menurut Hamdayama (2016:116) modelpembelajaran
problem based learning adalah pembelajaran yang memusatkan pada masalah
kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Menurut Abdullah
(2014:127) model pembelajaranproblem based learning merupakan pembelajaran
yang penyampaiannya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan,
mengajukan pertanyaa-pertanyaan, memfasilitasi penyeledikan dan membuka
dialog. Model pembelajaran problem based learning mendorong peserta didik untuk
aktif dan kreatif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan suatu masalah yang akan  meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan kreatif.
            Model pembelajaran Problem Based learning memiliki karakteristik yang membedakan dengan model pembelajaran lain. Karakteristik model pembelajaran
problem basedlearning yang dikembangkan Barrow (dalam Liu 2005:2) adalah sebagai berikut:

1)      Learning is student-centered
Proses pembelajaran dalam problem based learning lebih menitikberatkan
pada peserta didik untuk belajar. Problem based learning berdasarkan  teori konstruktivisme edimana peserta didik didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.

2)      Authentic problems from the organizing focus for learning
Masalah yang disajikan kepada peserta didik adalah masalah yang otentik
sehingga peserta didik mampu memahami masalah tersebut dan dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya dimasa yang akan datang.

3)      New information is acquired through self-directed learning
Proses pemecahan masalah memungkinkan masih terdapat peserta didik yang
belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga peserta didik berusaha untuk mencari sendiri melalui berbagai
sumber.

4)      Learning occurs in small groups
Pada pelaksanaan problem based learning, agar terjadi interaksi ilmiah dan
tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaborative,
problem based learning dilaksanakan dalam bentuk kelompok kecil.

5)      Teacher act as fasilitators
Pada pelaksanaan problem based learning, guru berperan sebagai fasilitator.
Namun, walaupun begitu guru harus selalu memantau perkembangan
aktivitas peserta didik dan mendorong peserta didik agar dapat mencapai
tujuan dari pembelajaran.


Menurut Trianto (2009:93) karakteristik model pembelajaran problem based learning yaitu: (1) adanya pengajuan pertanyaan atau masalah; (2) berfokus pada keterkaitan antar disiplin; (3) penyelidikan autentik; (4) menghasilkan produk atau karya dan mempresentasikannya; dan (5) kerja sama.

Dengan demikian problem based learning adalah suatu
model pembelajaran yang menyajikan masalah-masalah pada kehidupan nyata
sebagai sehingga peserta didik mampu mengkonstuksi pengetahuannya melalui pengalaman belajarnya yang bertujuan meningkatkan ketrampilan menyelesaikan suatu masalah. Masalah yang dijadikan pembelajaran berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh peserta didik. Dalam pelaksanaan model
problem based learning, pembelajaran dilakukan dengan cara
kolaboratif yaitu menggunakan kelompok kecil untuk menyelesaikan
permasalahan
.

3.    Discovery Learning

Pada pembelajaran saat ini sudah dikembangkan model-model pembelajaran
yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Pemilihan model
pembelajaran yang tepat sangat berperan dalam meningkatkan minat dan
semangat belajar siswa agar lebih aktif dan mencapai pemahaman konsep
yang maksimal. Model pembelajaran discovery learning pertama kali diperkenalkan
oleh Jerome Bruner yang menekankan bahwa pembelajaran harus mampu
mendorong peserta didik untuk mempelajari apa yang telah dimiliki (Rifa’I
& Anni, 2011: 233). Menurut pandangan Bruner dalam Markaban (2008:
10) belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, di mana
seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang
tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.
Pembelajaran discovery learning memberikan kesempatan kepada siswa
untuk ikut serta secara aktif dalam membangun pengetahuan yang akan
mereka peroleh. Keikutsertaan siswa mengarahkan pembelajaran pada
proses pembelajaran yang bersifat student-centered, aktif, menyenangkan,
dan memungkinkan terjadinya informasi antar-siswa, antara siswa dengan
guru, dan antara siswa dengan lingkungan

Model pembelajaran discovery learning berlandaskan pada teori-teori
belajar konstruktivis (Anyafulude, 2013: 2). Menurut pandangan
kostruktivisme, belajar adalah proses aktif siswa dalam mengonstruksi arti,
wacana, dialog, dan pengalaman fisik dimana di dalamnya terjadi proses
asimilasi dan menghubungkan pengalaman atau informasi yang sudah
dipelajari (Rifa’i & Anni, 2011: 199). Dalam pembelajaran discovery learning siswa tidak diberikan konsep dalam bentuk finalnya, melainkan siswa diajak untuk ikut serta dalam
menemukan konsep tersebut. Siswa membangun pengetahuan berdasarkan
informasi baru dan kumpulan data yang mereka gunakan dalam sebuah
pembelajaran penyelidikan (De Jong & Joolingen, 1998: 193).
Keikutsertaan menemukan konsep dalam pembelajaran memberikan kesan
yang lebih mendalam kepada siswa sehingga informasi disimpan lebih lama
dalam memori para siswa. Proses menemukan sendiri konsep yang
dipelajari juga memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan
penemuan-penemuan lain sehingga minat belajarnya semakin meningkat.
Menurut Syah dalam Kemendikbud (2013: 5), prosedur yang harus
dilaksanakan dalam proses pembelajaran disvovery learning adalah:
(1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan )

Kegiatan pertama yang harus dilakukan adalah memberikanpermasalahan yang menimbulkan rasa ingin tahu siswa untuk melakukan penyelidikan yang lebih mengenai permasalahan tersebut. Selain itu, siswa juga dapat diberikan kegiatan berupa jelajah pustaka, praktikum, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah.

(2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)

Langkah selanjutnya adalah memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ditemukan pada kegiatan awal. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah. Masalah yang telah ditemukan kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau hipotesis.

(3) Data Collection (Pengumpulan Data)

Hipotesis yang telah dikemukakan, dibuktikan kebenarannya melalui kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Pembuktian dilakukan dengan mengumpulkan data maupun informasi yang relevan melalui pengamatan, wawancara,
eksperimen, jelajah pustaka, maupun kegiatan-kegiatan lain yang mendukung dalam kegiatan membuktikan hipotesis.

(4) Data Processing (Pengolahan Data)

Data-data yang telah diperoleh selanjutnya diolah menjadi suatu
informasi yang runtut, jelas, dan bermakna. Pengolahan data dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti diacak, diklasifikasikan,
maupun dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu

4.    Kemampuan pemecahan masalah

Menurut Dahar (1989: 138), pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya, dan tidak sebagai suatu keterampilan generik. Pengertian ini mengandung makna bahwa ketika seseorang telah mampu menyelesaikan suatu masalah, maka seseorang itu telah memiliki suatu kemampuan baru. Kemampuan ini dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang relevan. Semakin banyak masalah yang dapat diselesaikan oleh seseorang, maka ia akan semakin banyak memiliki kemampuan yang dapat membantunya untuk mengarungi hidupnya sehari-hari. Sumarmo (2000: 8) berpendapat bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang ditemui untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Sementara itu Montague (2007) mengatakan bahwa pemecahan masalah matematis adalah suatu aktivitas kognitif
yang kompleks yang disertai sejumlah proses dan strategi.
Dari beberapa pendapat tersebut, pemecahan masalah matematis merupakan suatu aktivitas
kognitif yang kompleks, sebagai proses untuk mengatasi suatu masalah yang ditemui dan untuk menyelesaikannya diperlukan sejumlah strategi. Melatih siswa dengan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika bukan hanya sekedar mengharapkan siswa dapat menyelesaikan soal atau masalah yang diberikan, namun diharapkan kebiasaaan dalam melakukan proses pemecahan masalah membuatnya mampu menjalani hidup yang penuh kompleksitas permasalahan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

1.      Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (Quasi Eksperimen). Dalam penelitian ini menggunakan dua kelompok dalam satu sekolah. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1) Beberapa kelompok belajar (kelas) diambil secara acak sebanyak dua kelas, 2) memberikan pretest pemecahan masalah (PM) dan kemampuan komunikasi (KK) siswa terhadap matematika pada kedua kelompok dalam waktu yang bersamaan, 3) melakukan model pembelajaran  Problem Based Learning dan Discovery Learning dengan melakukan pengamatan kemampuan komunikasi matematika 4) memberikan posttest pemecahan masalah (PM) dan kemampuan komunikasi terhadap matematika pada kedua kelompok dalam waktu yang  bersamaan.

Rancangan eksperimen yang digunakan adalah nonequivalent groups pretest-posttest control group design (McMillan & Schumacher, 2010: 278) yang secara skematis dapat disajikan sebagai berikut:



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.    Memberikan angket komunikasi siswa terhadap matematika untuk diisi sebelum dilakukan pretest pemecahan masalah

2.    Melakukan pretest.

3.    Melaksanakan pembelajaran di kelas eksperimen 1 dengan model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning serta melakukan observasi kemampuan komunikasi

4.    Memberikan angket komunikasi siswa terhadap matematika untuk diisi sebelum dilakukan posttest pemecahan masalah.

5.    Memberikan posttest.

2.      Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas (independent) dan dua variabel terikat (dependent). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Problem Based Learning dan tipe Discovery Learning , sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi.

3.      Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini adalah data primer, data diperoleh langsung oleh peneliti dengan memberikan perlakuan kepada kedua kelas eksperimen. Teknik pengumpulan data yang dimaksud adalah cara-cara atau tahapan yang dilalui dalam pengumpulan data. Teknik pengumpulan data dengan tes untuk mengukur pemecahan masalah pada bangun datar  dan non tes untuk mengukur kemampuan komunikasi  siswa terhadap matematika dengan tahapan sebagai berikut:

1.    Menyusun instrument penelitian (silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, kisi-kisi soal pretest dan posttest untuk mengukur kemampuan pemcahan masalah pada bangun datar, dan kemampuan komunikasi terhadap pembelajaran matematika, serta rubrik penskoran sesuai dengan variabel yang akan diteliti).

2.    Meminta beberapa Dosen ahli untuk memvalidasi instrument penelitian.

3.    Melakukan ujicoba instrument penelitian.

4.    Estimasi reliabilitas instrument penelitian.

5.    Revisi instrument penelitian.

6.    Memberikan pretest kepada kedua kelompok siswa di masing-masing kelas.

7.    Melaksanakan penelitian secara bersama-sama dengan guru di sekolah.

8.    Melakukan pengamatan terhadap kemampuan komunikasi siswa

9.    Memberikan posttest kepada sampel penelitian.

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.    Tes pemecahan masalah

Bentuk instrument tes yang dipakai adalah uraian. Instrument tes dalam penelitian ini terdiri atas soal tes awal (pretest) yang digunakan untuk mengukur kemampuan awal dan tes akhir (posttest) untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah pada materi angun datar setelah perlakuan.

2.    Tes kemampuan komunikasi

Angket kepercayaan diri berbentuk dafar cocok (checklist) dengan menggunakan skala Likert yang terdiri atas lima, yaitu selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah. Pernyataan pada angket komunikasi digolongkan menjadi pernyataan positif dan pernyataan negatif.

Penyekoran untuk pernyataan positif dengan respon selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah berturut-turut adalah lima, empat, tiga, dua, satu. Untuk pernyataan negatif dengan respon selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah berturut-turut adalah satu, dua, tiga, empat, dan lima.

4.      Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Validitas Instrumen

Bukti validitas instrument yang diperlukan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) dan validitas konstruk (construct validity).

1.    Tes kemampuan pemecahan masalah

Untuk mengukur tes kemampuan pemecahan masalah bangun datar yaitu dengan menggunakan validitas isi (content validity).  Instrument mengacu pada sejauh mana item instrumen mencakup keseluruhan situasi yang ingin diukur. Validitas isi instrument tes dapat diketahui dari kesesuaian instrument tes tersebut dengan SK dan KD. Bukti validitas isi untuk instrumen tes kemampuan pemecahan masalah diperoleh berdasarkan expert judgement (Allen dan Yen, 1979:95-96). Dalam hal ini ahli berasal dari dosen program studi pendidikan matematika Universitas Negeri Yogyakarta. Validitas isi dikoreksi oleh ahli yang bertujuan untuk memperoleh bukti validitas isi kemudian direvisi berdasarkan masukan dari ahli.

 

2.    Angket kemampuan komunikasi

Pada instrument non tes yaitu angket kemampuan komunikasi matematis diukur dengan menggunakan validitas isi (content validity). Validitas isi menunjukan seberapa baik tes/non tes dari suatu pengukuran mewakili wilayah isi dari yang diukur dan bagaimana penekannya pada isi yang penting dalam pengukuran tersebut (Gronlund, 2009: 74). Instrument mengacu pada sejauh mana item instrumen mencakup keseluruhan situasi yang ingin diukur. Bukti validitas isi untuk instrumen tes kemampuan pemecahan masalah diperoleh berdasarkan expert judgement (Allen dan Yen, 1979:95-96). Dalam hal ini ahli berasal dari dosen program studi pendidikan matematika Universitas Negeri Yogyakarta. Validitas isi dikoreksi oleh ahli yang bertujuan untuk memperoleh bukti validitas isi kemudian direvisi berdasarkan masukan dari ahli.

Selain diukur dengan validitas isi, angket kemampuan komunikasi matematis juga diukur dengan menggunakan validitas kosntruk (construct validity). Validitas konstruk  mengacu pada sejauh mana suatu instrument mengukur trait atau konstruk teoritik yang hendak diukur(Allen dan Yen, 1979:108). Untuk memperoleh bukti validitas konstruk untuk instrument non tes , maka dilakukan uji coba pada SMP kelas VII. Data diperoleh dari hasil uji coba tersebut dianalisis dengan Factor Analysis. Analisis dilakukan dengan bantuan SPSS .

2.      Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas instrument tes dan non tes berhubungan dengan kepercayaan dan keajegan hasil ujicoba. Suatu ujicoba dapat dikatakan mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi jika ujicoba tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Untuk instrument ini dilakukan analisis dengan mencari indeks reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Adapun rumus Alpha Cronbach yang digunakan yaitu:

Keterangan:

          = koefisien reliabilitas

          = jumlah butir tes

     = jumlah varian skor tiap-tiap butir tes

        = varian skor total

(Ebel, 1986: 79)

Salah satu panduan umum untuk mengevaluasi koefisien reliabilitas yaitu  bahwa estimasi reliabilitas yang diharapkan paling sedikit 0,70, maka instrumen yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria.

Setelah memperoleh koefisien reliabilitas instrumen untuk masing-masing variabel dengan rumus Alpha Cronbach maka selanjutnya akan dilakukan perhitungan untuk memperoleh nilai SEM. Rumus yang digunakan untuk menghitung SEM adalah:

Keterangan:

 = eror standar pengukuran

 = standar deviasi skor

 = koefisien reliablitias intrumen

(Ebel, 1986: 80)

5.      Teknik Analisis Data

Data penelitian yang dianalisis adalah data kondisi awal dan akhir pada kemampuan pemecahan masalah bangun datar, dan  kemampuan komunikasi matematis. Data kondisi awal untuk mengetahui gambaran awal kedua kelompok siswa, selanjutnya kondisi akhir untuk memdeskripsikan data perbedaan keefektifan model pembelajaran Probem Based Learning dan Discovery Learning. Adapun analisis yang dilakukan adalah:

1.    Analisis Deskriptif

Data penelitian yang akan dianalisis adalah data pretest dan posttest kemampuan pemecahan masalah bangun datar, dan  kemampuan komunikasi matematis. Analisis deskriptif data pretes untuk mendeskripsikan kondisi awal dari dua kelompok siswa yang dilibatkan dalam penelitian, sedangkan analisis deskriptif  data posttest digunakan untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Probem Based Learning dan Discovery Learning.

Analisis data yang dimaksud, pembelajaran dikatakan efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah bangun datar dilihat dari pekerjaan siswa dilihat dari hasil pretest dan posttest. Sedangkan untuk komunikasi matematis siswa menggunakan persentase kriteria siswa dalam kategori.

Kategori keefektifan model pembelajaran aspek afektif yaitu kemampuan komunikasi matematis diperoleh dengan menggunakan instrument non-tes yang berbentuk checklist dengan skala likert. Data yang diperoleh digolongkan dalam kriteria berdasarkan tabel.

Kategorisasi komunikasi matematis siswa

No

Interval

Rentang Skor (X)

Kriteria

1.

X4,2

Sangat Baik

2.

3,4X4,2

Baik

3.

2,6X3,4

Cukup

4.

1,8X2,6

Kurang

5.

X1,8

Sangat Kurang

(Eko P. Widoyoko, 2009: 238)

Keterangan:

Untuk menentukan kriteria hasil pengukurannya digunakan klasifikasi berdasarkan:

 = Rerata ideal, = (skor maksimum ideal + skor minimum ideal)

 = Simpangan baku ideal, (skor maksimum ideal – skor minimum ideal)

X = Skor empiris

Setelah menetapkan data pengukuran kepercayaan diri siswa terhadap matematika, skor total masing-masing unit dikategorikan berdasarkan kriteria pada tabel di atas. Total skor semua unit yang telah terkumpul kemudian dihitung presentasenya untuk masing-masing kategori sangat baik, baik, cukup, kurang, dan sangat kurang.

2.     Analisis Inferensial 

a. Keefektifan model pembelajaran

Keefektifan model pembelajaran ditentukan berdasarkan hasil pretes dan posttest kemampuan pemecahan masalah dengan rubrik penskoran. Rubric penskoran terlampir.

Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

1.    Ho :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning  efektif ditinjau dari keampuan pemecahan masalah)

2.          Ho :  75,00 (Model pembelajaran  Discovery Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah)

3.    Ho :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan komunikai matematis)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis

4.    Ho :  75,00 (Model pembelajaran Discovery Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan komunikai matematis)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Discovery Learning efektif ditinjau dari kemampuan komunikai matematis)

Selanjutnya dilakukan uji one sample t-test dengan menggunakan bantuan Microsoft excel yaitu untuk melihat keefektifan masing-masing model pembelajaran kemampuan pemacahan masalah bangun datar dan komunikasi matematis siswa. Untuk melakukan uji one sample t-test jika data berdistribusi normal. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:

    adalah  rata-rata skor sampel

  adalah  rata-rata skor yang ditetapkan

    adalah  standar deviasi sampel

    adalah banyaknya anggota sampel

(Tatsuoka, 1971: 77)

Kriteria keputusan adalah  ditolak jika  dengan taraf signifikansi α = 0,05.

b. Komparasi model pembelajaran

Untuk menyelidiki perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan komunikasi matematis dilakukan dengan uji multivariat kemudian dilanjutkan uji univariat yaitu uji t untuk menentukan variabel mana yang berkontribusi terhadap perbedaan keseluruhan. Adapun tahapan pengujian adalah sebagai berikut:

a.    Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data dari masing-masing variabel berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan terhadap data yang diperoleh baik sebelum maupun setelah treatment meliputi data hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan angket kemampuan komunikasi matematis siswa, baik pada kelompok yang menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning

Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu uji Kolmogorov-Smirnov. Keputusan uji dan kesimpulan diambil pada taraf signifikansi 0,05 dengan kriteria: 1) jika signifikansi lebih besar dari 0,05 maka data berdistribusi normal; 2) jika signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.

Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut.

H0 = data yang akan diuji berdistribusi normal

Ha = data yang akan diuji tidak berdistribusi normal

Berikut hasil analisis uji normalitas yang dilakukan dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel.

b.    Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan data kondisi awal maupun data kondisi akhir. Uji homogenitas dimaksudkan untuk menguji kesamaan matriks varians-kovarians dari variabel dependen pada penelitian ini. Uji homogenitas terhadap kemampuan pemcahan masalah dan komunikas matematis  secara bersama-sama menggunakan uji Box’s M test melalui program Microsoft Excel. Kriteria pengujian ditetapkan bahwa nilai signifikansi (probabilitas) yang dihasilkan lebih besar atau sama dengan 0,05 maka varians-kovarians dari variabel dependen sama atau homogen.

c.    Uji Hipotesis

Untuk analisis dengan multivariat, data yang dianalisis adalah data yang diperoleh dari pretest, posttest, dan angket kepercayaan diri sebelum dan setelah treatment.

1.    Uji Multivariat Kondisi Awal

Pengujian hipotesisnya sebagai berikut:

H0: Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor pretest dan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Problem Based Learning dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning

Ha:  Terdapat perbedaan perbedaan rata-rata skor pretest dan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning.

2.        Uji Multivariat Kondisi Akhir

Pengujian hipotesisnya sebagai berikut:

H01: Tidak terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Ha1:  Terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Secara statistik hipotesis di atas, dapat disimbolkan sebagai berikut:

(Tidak Terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa)

(Terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa)

Dimana  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemacahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemacahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning. Sedangkan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning.

Perhitungan untuk menguji hipotesis kondisi awal dan kondisi akhir di atas, menggunakan uji multivariat. Uji multivariat menggunakan statistik T2 Hotelling dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

   : Hotelling Trace

   : ukuran sampel kelas PBL

   : ukuran sampel kelas DL

   :  vektor rata-rata skor kelas PBL

   :  vector rata-rata skor kelas DL

:  invers matriks kovarian

(Stevens, 2009: 148)

Selanjutnya nilai  ditransformasikan untuk memperoleh nilai dari distribusi F dengan menggunakan formula sebagai berikut:

(Stevens, 2009: 148)

Kriteria keputusannya adalah tolak H01 jika Fhitung  Ftabel (derajat bebasnya dk1= p dan dk2= n1+n2 - p - 1. Pengujian dilakukan menggunakan bantuan Microsoft Excel sehingga kriteria keputusannya yaitu tolak H01 jika p-value 0,05.

3.        Uji Univariat

Jika uji hipotesis multivariat kondisi akhir menyatakan bahwa terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran dengan Problem Based Learning dan model pembelajaran Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan maslaah  bangun datar, dan kemampuan komunikasi matematis , maka dilakukan uji lanjut yaitu statistik uji t univariat dengan asumsi yang harus dipenuhi adalah data berdistribusi normal dan homogen.

Pengujian hipotesis untuk prestasi belajar adalah sebagai berikut:

H02: Model pembelajaran Problem Based Learning tidak lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah.

Ha2:  Model pembelajaran Problem Based Learning  lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah

Secara statistik, hipotesis di atas dapat disimbolkan sebagai berikut:

H02 :

Ha2 :

Dimana  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemecahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemacahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning.

Pengujian hipotesis untuk kemampuan komunikasi matematis adalah sebagai berikut:

H03: Model pembelajaran Problem Based Learning  tidak lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis.

Ha3:  Model pembelajaran Problem Based Learning  lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis

Secara statistik, hipotesis di atas dapat disimbolkan sebagai berikut:

H03 :

Ha3 :

Dimana  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning denganPengujian hipotesis untuk kemampuan komunikasi matematis adalah sebagai berikut:

Pengujian hipotesis di atas, akan diuji menggunakan uji t univariat. Kriteria yang digunakan adalah kriteria Bonferroni dimana taraf signifikansinya adalah /(2), jadi = 0,05% untuk masing-masing uji t digunakan kriteria 0,05/2 = 0,025. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Jika  maka statistic uji yang digunakan adalah uji t dengan rumus.

(Stevens, 2009: 147

Jika  maka statistic uji yang digunakan adalah uji t dengan rumus.

Keterangan:

          :  nilai rata-rata kelompok PBL

          :  nilai rata-rata kelompok DL

          :  variansi kelompok PBL

          :  variansi kelompok DL

          :  banyaknya subyek PBL

          :  banyaknya subyek DL

Kriteria keputusannya adalah untuk  maka  ditolak jika  dan untuk  maka  ditolak jika  dengan

DAFTAR PUSTAKA

 

Anderson, L. W. (2000). Assesing affective characteristics in the schools (2nd ed.). USA: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

 

 

Arend, B. (2009). Encouraging critical thinking in online threaded discussions. The Journal Educator Online, volume 6, 1-23.

 

Arends, R. I. (2008). Learning to teach: belajar untuk mengajar. Diterjemahkan oleh Helly Prayitno Soetjipto dan Sri Mulyani Soetjipt. Jakarta: Pustaka Belajar.

 

Arends, R. I., & Kilcher, A. (2010). Teaching for student learning becoming an accomplished teacher. Madison Avenue: Routledge Taylor and Francis Group.

 

Bell, F. H. (1978). Teaching and learning mathematics (in scondary school). Iowa: Wm. C. Brown Company.

 

Brown, D.H. (2000). Principles of language learning and teaching (4th ed). San Fransisco State University: Addison Wesley.

 

Buskist, W., & Irons, J.G. (2008). Simple strategies for teaching your students to think critically. Teaching Critical Thinking in Psychology. A Handbook of Best Practices. Chichester: John Willey-Sons, Ltd., Publication.

 

Carrol, D. W., Kenniston, A.H., & Peden, B. F. (2008). Integrating critical thinking with course content. Teaching Critical Thinking in Psychology. A Handbook of Best Practices. Chichester: John Willey-Sons, Ltd., Publication.

 

Depdiknas. (2009). Pembelajaran yang mengembangkan critical thinking. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

 

-----------.(2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54, Tahun 2013, tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah

 

Dick, W., Carey, L., & Carey, J.O. (2001). The systematic design of instruction(5th ed). New york:  addison-weley educational publisher inc.

 

Dimyati & Mudjiono. (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Djemari Mardapi. (2008) Teknik Penyusunan Tes dan Nontes. Jogjakarta, Mitra Cendikia Offset.

Druckman, D. & Bjork, R.A. (1994). Learning, remembering, believing. USA: National Academy of Sciences.

 

Eggen, P. & Kauchak, D. (2010). Educational physicologi windows and classrooms. New Jersey: Pearson Merrill.

 

Eko Putra Widoyoko. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Elliot, S.N., Kratochwill, R.T., Cook, L.J., et al. (2000). Educational psychology: effective teaching, effective learning. New York: The Mc Graw Hill Companies, Inc.

 

Ennis, R.H. (1996). Critical thinking disposition: their nature and assessability. Informal Logic, vol 18, no 2 & 3, 165-182.

 

Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.

 

Eynde, P. O., De Corte, E., & Verschaffel, L. (2002). Framing students’ mathematics related beliefs. Dalam G. C. Leder, E. Pehkonen, & G. Toner (Eds.), Beliefs: A Hidden Variable in Mathematics Education? (pp 13-37). USA: Kluwer Academic Publisher.

 

Fisher, A. (2007). Berpikir kritis sebuah pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

 

Flammer, A. (1995). Developmental analysis of control beliefs. Dalam A. Bandura (Ed.), Self-efficacy in Changing Societies (pp 69-113). USA: Cambridge University Press.]. Elder (1995: 62) [Elder, G.H., Jr. (1995). Life trajectories in changing spcieties. Dalam A. Bandura (Ed.), Self-efficacy in Changing Societies (pp 46-68). USA: Cambridge University Press. Gable, R. K. (1986). Instrument development in the affective domain. USA: Kluwer-Nyhoff

 

Publishing.

 

Gambrill, E., & Gibbs, L. (2009). Critical thinking for helping professional. Madison Avenue: OXFORD University Press.

 

Grassi, C. (2004). Gender-based achievement, self-convidence and enrollment gaps: mathematics at trinity college. Diunduh pada tanggal 8 September 2014 dari http://www.trincoll.edu/depts/educ/Recearch/Grassi.pdf

 

Hannula, M.S., Maijala, H., & Pehkonen, E. (2004). Development of understanding and self confidence in Mathematics; grades 5-8. Journal of Mathematics education, 3, 17-24. Diambil pada tanggal 8 September 2014 dari http://www.emis.de/proceedings/PME28/RR/RR162_Hannula.pdf

 

Herman Hudojo. (1988) Mengajar  belajar matematika, Debdikbud, Jakarta.

 

Herni Rosita. (2006). Hubungan antara perilaku asesif dengan kepercayaan diri pada mahasiswa. Diunduh pada tanggal 8 September 2014 dari http://www.gunadrama.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2007/Artikel_10502099.pdf

 

Huitt, W. (Februari 1992). Problem solving and decision making: Consideration of individual differences using the myers-briggs type indikator. Journal of psicological type, 24, 33-44. Diambil pada tanggal 18 Agustus 2014. http://chiron.valdosta.edu/whuitt/context/infoage.html

 

Johnson, E. B. (2009). Contextual teaching and learning; Menjadikan kegiatan belajar mengajar mengasyikan dan bermakna. Bandung: Mizan.

 

Jhonson, D. W & Jhonson, R. T . (1987). Learning together and alone: cooperative, comvetitive, and individualistic learning. (2nd ed). New Jersey: Prentice-Hell,Inc.

 

Joyce, B & Weil, M. (2004). Model of  teaching. Seventh edition. Boston: pearson education, inc.

 

Jurdak, M. (2009). Toward equity in quality in mathematics education. New York: Springer Science Business Media, LI.C.

 

Kuebli, J. E., Harvey, R.D., & Korn, J. H. (2008). Critical thinking in critical course: prinsiples and applications. Teaching Critical Thinking in Psychology. A Handbook of Best Practices. Chichester: John Willey-Sons, Ltd., Publication.

 

Lefrancois, G. R. (2000). Psychology for teaching. Belmont: Wadsworth.

 

Lie,  A.  (2002).  Cooperative  learning;  mempraktekkan  cooperative  learning  di ruang-ruang kelas. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

McLeod, D.B. (1991). The role of affect. Dalam Fennema, E., Carpenter, T.P., & Lamon, S. J. (Eds.), Integrating Research on Teaching and Learning Mathematics (pp 56-82). New York: State University New York Press, Albany.

 

Manning, G. & Curtis, K. (2003). The art of leadership. New York. McGrawHill.

 

Markaban. (2006). Model pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing. Yogyakarta: Depdiknas.

 

Middleton, J.A. & Spanias, P.A. (1999). Motivation for achievement in mathematics: findings, generalization, and criticismn of the research. Journal for research in Mathematics Educations, 30, 65-88.

 

Molloy, A. (2010). Coach your self to success mimpi tercapai, target terpenuhi. (Terjemahan Retnadi Nur’aini dari ASPIRATIONS: 8 Easy Steps to Coach Yourself to Succes). New Zealand: Random House New Zealand. (Buku asli diterbitkan tahun 2003).

 

 

Mayer, R. E. (January 2004). Should there be a three-strikes rule against pure discovery learning; the case for guided method of instruction. American psychologist. University of California, Santa Barbara. Vol. 59, No. 1, 14-19. Diambil pada tanggal 18 Agustus 2014, dari www.davidlewisphd.com/courses/EDD8001/weeklys/2004-Mayer.pdf.

 

Moon, J. (2008). Critical thinking. An exploration of theory and practice. Madison Avenue: Routledge Taylor & Francis.

 

Moore, K. D. (2009). Effective instructional strategies: from theory to practice. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc.

 

Muijs, D., & Reynolds, D. (2005). Effective teaching evidence and practice. (2nd ed.). London: SAGE Publication.

 

NCTM. (2000). Principles and standars for school mathematics. USA: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

 

Nitko, Anthony J. & Susan M. Brookhart. (2007). Educational Assesment of Students. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.

 

 

Nunes, et al. (2009). Development of maths capabilities and confidence in primary School. Research Rreport DCSF-RR118.

 

Nur Gufron, M. Rini, RS. (2010). Teori-teori psikologi. Jogjakarta: Ar-Zuzz media.

 

Oemar, Hamalik. (2009). Proses belajar mengajar. Jakarta: Bumi aksara.

Okuba, K. (2007). Mathematical thinking from the perspectives of problem solving and area of learning contents:in Progress report of the APEC project: “Colaborative Studies on Innovations for Teaching and Learning Mathematics in Diferent Cultures (II) – Lesson Study focusing on Mathematical Thinking -”, Tokyo: CRICED, University of Tsukuba.

 

Orlich, D.C, Harder, J.R., Callahan R.C., et al. (2007). Teaching strategies. A guide to effective instruction. Boston: Houghton Mifflin Company.

 

 

Orton, Anthony. (2004). Learning Mathematics: Issues, theory and classroom practice. (3rd ed). New York: Continuum.

 

Parson, S., Croft, T., & Harrison, M. (2001). Engineering students self-confidence in mathematics mapped onto Bandura’s self-efficacy. Engineering Education. Vol: 6 issue 1, pp: 52-61.

 

Paul Suparno (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

 

Preston, D. W. (2007). 365 steps to self-confidence. UK: British Library Cataloguing.

 

Romberg,T.A., & Kaput,J.J.(2009). Mathematics worth teaching, mathematics worth understanding. Dalam E. Fennema  &  T.A.  Romberg  (Eds.), Mathematics  classrooms  that  promote  understanding  (pp.  3-18). Mahwah, NJ: Taylor & Francis e-Library.

 

Renstein, A., & Lander, G.H. (1990). Developing critical thinking in college programs. Journal of Scientific. Exploration, Vol.4, No. 2. 123-136.

 

Roe, B.D., & Ross, E.P. (1994). Student teaching and field experiences handbook (4th edition). New York: Macmillan Publishing Company.

 

Santrock, J. W. (2009) Psikologi pendidikan (edisi 3). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

 

Saurino, D. R. (2008). Concept journaling to increase critical thinking dispositions and problem solving skills in adult education. The Journal of Human Resource and Adult Learning, Vol. 4, Num. 1, 170-178.

 

Schiro, M. S. (2009). Mega-fun math games and puzzles for the elementary grades. USA: John Wiley & Sons, Inc.

 

Schunk, D. H. (2008). Learning theories: An educational perspective. (5rd ed). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.

 

Sharan. Shlomo. (2009). Handbook of Cooperative Learning (Inovasi Pengajaran dan Pembelajaran untuk Memacu Keberhasilan Siswa di Kelas). Yogyakarta: Imperium.

 

Sherman. B. F. and Wither. D. P. (2003), Mathematics Anxiety and Mathematics Achievement. Diambil pada tanggal 8 September 2014 dari  http://www.ejmste.com/v3n4/EJMSTE_v3n4_Akinsola_etal.pdf

 

Slavin, R.E. (2005). Cooperative learning: teory, research, and practice (2nd ed). Sydney: AllymandBroon.

 

Slavin, R. E. (2006). Educational psychology: theory into practice. Boston: Allyn and Bacon.

 

Stahl, R. J. (1994) Cooperative learning in social studies: A Handbook for Teacher. New York: Addision Wesley Publishing Company, Inc.

 

Stevens, T. G. (2010). Self-confidence-our expectations of success. Diambil tanggal 19 Oktober 2011 dari http://www.csulb.edu/~tstevens/h54confi.htm.

 

Stevenson. H. W.et. al (1998). Mathematics achievement of Chinese, Japanese and American childrent. Diambil pada tanggal 8 September 2014 pada http://www.spa.ucla.edu/ps/pdf/s99/PS294assign/achievement.pdf

 

Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Innovative, Progresif. Surabaya: Kencana Prenada.

 

Van de Walle, J. A. (2007). Sekolah dasar dan menengah: pengembangan pengajaran. (Terjemahan Suyono ). Jakarta: Erlangga.

 

Westwood, P. (2008). What teachers need to know about teaching methods. Camberwell Victoria: ACER Press.

 

Wina Sanjaya, (2006). Strategi Pembelajaran berorientasi proses standar proses pendidikan, Jakarta : Kencana Prima.

 

Yoder, J. & Proctor, W. (1988). The self-confident  child. New York: Fact on File Publications.

 

Zimmerman, B.J., Bonner, S., & Kovach, R. (1996). Developing self-regulated learners beyond achievement to self-efficacy (psychology in the classroom). USA: American Psychological Association.

 

 

 

Disusun guna memenuhi tugas akhir Daya Matematika

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Fakultas, Jurusan Dan Logo UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) - rekreartiveLogo-UNY-Universitas-Negeri-Yogyakarta-Hitam-Putih.png

Nama                           : Ardiana Purnamasari

NIM                            : 21309251060

Kelas                           : C

 

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2021

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pelajaran matematika disekolah masih dianggap sebagai pelajaran yang sulit oleh siswa. Anggapan tersebut muncul karena masih banyak guru di sekolah yang menggunakan metode pembelajaran konvensional. Akibatnya matematika hanya sebatas teori dan siswa hanya menghafal rumus-rumus yang diberikan guru. Hal tersebut menjadikan pembelajaran kurang bermakna.  Paradigma pembelajaran matematika yang tadinya berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa. Guru seharusnya hanya sebagai fasilitator. Siswa harus berperan aktif dalam pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Pembelajaran bermakna menurut Ausubel (1963) merupakan proses mengaitkan informasi atau materi baru dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kebermaknaan dalam suatu pembelajaran, yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Pembelajaran bermakna berkaitan erat dengan pembelajaran konstruktivisme. Paham ini berpendapat bahwa siswa mengkonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks sosial. Teori belajar ini merupakan teori tentang penciptaan makna. Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh Piaget (Piagetian Psychological Constructivism) yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui dan dipercayai dengan fenomena, ide atau informasi baru yang dipelajari. Piaget menjelaskan bahwa setiap siswa membawa pengertian dan pengetahuan awal yang sudah dimilikinya ke dalam setiap proses belajar yang harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi yang dijumpai dalam proses belajar. Itulah sebabnya Vygotsky menyatakan bahwa proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu dan melalui interaksi dalam suatu konteks social.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang menggunakan paham konstruktivisme adalah pendekatan saintifik. Menurut Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014, pendekatan saintifik dioperasionalisasikan dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang di dalamnya memuat pengalaman belajar dalam bentuk kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan  informasi (mencoba), menalar (mengasosiasi), dan mengomunikasikan. Untuk mendapatkan kelima pengalaman tersebut, Permendikbud No 22 Tahun 2016, merekomendasikan agar diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning), pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem based learning, dan pembelajaran berbasis proyek (project based learning). Dalam penelitian akan dilakasanakan pembelajaran dengan Problem Based Learning  dan Discovery Learning.

Perlunya diterapkan pendekatan saintifik karena daya matematis siswa masih kurang. Daya matematis menurut NCTM terdiri dari kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, kemampuan koneksi, kemampuan penalaran dan representasi matematis. Sedangkan dalam NAEP Mathematics mendefiniikan daya matematis sebagai kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, dan kemampuan penalaran. Penelitian Setyaningsih,et.all (2021)  menunjukan Kurangnya pemahaman dan ketelitian siswa dalam proses pemecahan masalah. Penelitian Perwitasari, et.al (2017) mengungkapkan bahwa kemampuan komunikasi siswa dalam pembelajaran masih kurang. Penelitian dari Taubah (2018) menunjukan bahwa bahwa guru lebih sering mengajar siswa dengan memberikan sebuah jawaban yang benar dan siswa tidak dapat dengan bebas mengungkapkan pemikirannya tentang masalah sehingga siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dari beberapa penelitian tersebut menunjukan masih kurangnya kemampuan siswa dalam aspek-aspek yang terdapat dalam pengertian daya matematis. Oleh karena itu sangat diperlukan upaya untuk meningkatkan daya matematis siswa. Salah satu cara untuk meningkatkan daya matematis adalah dengan menerapkan pendekatan saintifik.

Penelitian Musta’in (2015) Pembelajaran geometri tentang sifat-sifat bangun datar yang kurang begitu memuaskan. Dari analisis evaluasi hasil belajar yang dilakukan peneliti menemukan bahwa rendahnya hasil belajar siswa tersebut dikarenakan siswa tidak memahami materi geometri tentang sifat-sifat bangun datar. Kemudian penelitian Jamaludin (2021) menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pada materi segiempat masih kurang maksimal.  Materi bangun datar erat kaitannya dengan benda-benda yang ada di sekitar siswa. Jika pembelajaran melibatkan benda-benda yang ada disekitar siswa kebermaknaan proses belajar akan dirasakan sehingga diharapkan siswa dapat lebih memahami materi Bangun Datar. Melihat kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal mengenai bangun datar penelitian ini akan difokuskan pada materi Bangun Datar kelas VII.

Tantangan terbaru dalam dunia pendidikan saat ini adalah kondisi pandemi yang mengharuskan manusia membatasi aktivitas, termasuk aktivitas belajar mengajar yang juga harus dilangsungkan dengan jarak jauh. Guru dituntut mampu melaksanakan pembelajaran dalam jaringan internet (daring). Pembelajaran melalui daring dapat dilaksankan dengan media WA, Zoom, E-learning atau media jejaring sosial lainnya.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1.      Siswa kesulitan dalam menyelesaikan masalah terkait materi Bangun Datar

2.      Kurangnya kemampuan pemecahan masalah yang merupakan salah satu aspek daya matematika siswa dalam pelajaran Matematika

3.      Kurangnya kemampuan komunikasi matematis sebagai salah satu aspek daya matematika siswa dalam pembelajaran .

4.      Guru lebih sering mengajar siswa dengan memberikan sebuah jawaban yang benar dan siswa tidak dapat dengan bebas mengungkapkan pemikirannya tentang masalah yang diberikan.

C. RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning efektif dalam meningkatkan daya matematika pada aspek pemecahan masalah?

2.      Apakah model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning efekti dalam meningkatkan daya matematika pada aspek komunikasi?

3.      Lebih baik mana antara Problem Based Learning dan Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa dengan kemampuan komunikasi siswa?

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KAJIAN TEORI

1.    Keefektifan Pembelajaran Matematika SMP

a.    Pengertian Pembelajaran Matematika

 Pembelajaran dalam bahasa inggris adalah instruction, yang berarti proses membuat orang belajar.  Dick et al. (2001:2) menyatakan bahwa “a more contempory view of instruction is that it is a systematic process in which every component (i.e., teacher, learners, materials, and learning evironment) is crucial to successful learning”. Maknanya  pembelajaran adalah suatu proses yang sistematis di mana setiap komponen (yaitu, guru, pelajar, bahan, dan lingkungan belajar) sangat penting untuk sukses belajar. 

Menurut Oemar Hamalik (2005: 57) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat peserta didik belajar secara aktif, yang menekankan penyediaan sumber belajar (Dimyati & Mudjiono, 2006: 297).

Proses pembelajaran dapat terselenggara secara lancar, efektif, dan efisien dengan adanya interaksi yang positif, konstruktif, dan produktif antara berbagai komponen yang terkandung dalam sistem pembelajaran tersebut termasuk yang paling utama adalah antara guru dengan peserta didik. Pembelajaran merupakan  sebuah program pendidikan yang sengaja diselenggarakan untuk mencapai sejumlah tujuan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses yang sengaja disusun  untuk mencapai tujuan pembelajaran serta agar peserta didik dapat menerapkan pengetahuan dan mengkonstruksi pengetahuan baru dalam kegiatan belajarnya.

b.    Pembelajaran Matematika SMP

1)   Matematika SMP

Matematika perlu  diberikan  kepada  semua  peserta  didik  mulai  dari  sekolah  dasar untuk  membekali  peserta  didik  dengan  kemampuan  berpikir  logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Van de Walle (2008: 13), menyatakan matematika adalah ilmu tentang pola dan aturan.  Matematika  merupakan  ilmu  tentang  sesuatu  yang memiliki  pola  keteraturan  dan  urutan  yang  logis. 

Matematika yang dipelajari pada jenjang pendidikan disebut dengan matematika sekolah. Matematika sekolah merupakan bagian dari matematika dalam satuan pendidikan tertentu yang disesuaikan dengan perkembangan kognitif peserta didik.

Romberg dan Kaput (2009:5) mengatakan bahwa matematika sekolah merupakan suatu kegiatan manusia yang mencerminkan hasil karya matematikawan yakni mencari tahu mengapa dan bagaimana suatu teknik atau trik tertentu dapat bekerja, menemukan trik baru, membenarkan pertanyaan, dan lain sebagainya. Pembelajaran matematika juga harus mencerminkan bagaimana pengguna matematika menyelidiki situasi masalah, menentukan variabel-variabel, melakukan perhitungan, dan memverifikasi kebenaran prediksi tersebut.

Tujuan pelajaran matematika di sekolah menurut Permendiknas Nomor 58 tahun 2013 tentang standar isi, agar peserta didik memiliki kemampuan  sebagai berikut:

1.    Memahamikonsep matematika, merupakan kompetensi dalam menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan menggunakan konsep maupun  algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari

b.   mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut

c.    mengidentifikasi sifat-sifat operasi atau konsep

d.   menerapkan konsep secara logis.

e.    memberikan contoh atau contoh kontra (bukan contoh) dari konsep yang dipelajari

f.    menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematis (tabel, grafik, diagram, gambar, sketsa, model matematika, atau cara lainnya)

g.   mengaitkan berbagai konsep dalam matematika maupun di luar matematika.

h.   mengembangkan syarat perlu dan /atau syarat cukup suatu konsep

2.    Termasuk dalam kecakapan ini adalah melakukan algoritma atau prosedur, yaitu kompetensi yang ditunjukkan saat  bekerja dan menerapkan konsep-konsep matematika seperti  melakukan operasi hitung, melakukan operasi aljabar, melakukan manipulasi aljabar, dan keterampilan melakukan pengukuran dan melukis/ menggambarkan /merepresentasikan konsep keruangan. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur/algoritma

b.   memodifikasi atau memperhalus prosedur

c.    mengembangkan prosedur

d.   Menggunakan matematika dalam konteks matematika seperti melakukan operasi matematika yang standar ataupun tidak standar (manipulasi aljabar) dalam menyelesaikan masalah matematika

3.    Menggunakan pola sebagai dugaan dalam  penyelesaian masalah, dan mampu membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada.Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    mengajukan dugaan (conjecture)

b.   menarik kesimpulan dari suatu pernyataan

c.    memberikan alternatif bagi suatu argumen

d.   menemukan pola pada suatu gejala matematis

4.    Menggunakan penalaran pada sifat, melakukan manipulasi matematika baik dalam penyederhanaan, maupun menganalisa komponen yang ada dalam pemecahan masalah dalam konteks matematika maupun di luar matematika (kehidupan nyata, ilmu, dan teknologi) yang meliputi kemampuan memahami masalah, membangun model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperolehtermasuk dalam rangka memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (dunia nyata). Masalah ada yang bersifat rutin maupun yang tidak rutin. Masalah tidak rutin adalah masalah baru bagi siswa, dalam arti memiliki tipe yang berbeda dari masalah-masalah yang telah dikenal siswa. Untuk menyelesaikan masalah tidak rutin, tidak cukup bagi siswa untuk meniru cara penyelesaian masalah-masalah yang telah dikenalnya, melainkan ia harus melakukan usaha-usaha tambahan, misalnya dengan melakukan modifikasi pada cara penyelesaian masalah yang telah dikenalnya, atau memecah masalah tidak rutin itu ke dalam beberapa masalah yang telah dikenalnya, atau merumuskan ulang masalah tidak rutin itu menjadi masalah yang telah dikenalnya. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    memahami masalah

b.   mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam mengidentifikasi masalah.

c.    menyajikan suatu rumusan masalah secara matematis dalam berbagai bentuk

d.   memilih pendekatan dan strategi yang tepat untuk memecahkan masalah

e.    menggunakan atau mengembangkan strategi pemecahan masalah

f.    menafsirkan hasil jawaban yang diperoleh untuk memecahkan masalah

g.   menyelesaikan masalah.

5.    Mengkomunikasikan gagasan,penalaran serta mampu menyusun bukti matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan

b.   Menduga dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture)

c.    memeriksa kesahihan atau kebenaran suatu argumen dengan penalaran induksi

d.   Menurunkan atau membuktikan rumus dengan penalaran deduksi

e.    Menduga dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture)

6.    Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    memiliki rasa ingin tahu yang tinggi

b.   bersikap penuh perhatian dalam belajar matematika

c.    bersikap antusias dalam belajar matematika

d.   bersikap gigih dalam menghadapi permasalahan

e.    memiliki penuh percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah

7.    Memiliki sikap dan perilaku  yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika dan pembelajarannya, seperti taat azas, konsisten,  menjunjung tinggi kesepakatan, toleran, menghargai pendapat orang lain, santun, demokrasi, ulet, tangguh, kreatif, menghargai kesemestaan (konteks, lingkungan), kerjasama, adil, jujur, teliti, cermat, bersikap luwes dan terbuka, memiliki kemauan berbagi rasa dengan orang lain

8.    Melakukan kegiatan–kegiatan motorik yang menggunakan pengetahuan matematika

9.    Menggunakan alat peraga sederhana  maupun hasil teknologi untuk melakukan kegiatan-kegiatan matematika. Kecakapan atau kemampuan-kemampuan tersebut saling terkait erat, yang satu memperkuat sekaligus membutuhkan yang lain. Sekalipun tidak dikemukakan secara eksplisit, kemampuan berkomunikasi muncul dan diperlukan di berbagai kecakapan, misalnya untuk menjelaskan gagasan pada Pemahaman Konseptual, menyajikan rumusan dan penyelesaian masalah, atau mengemukakan argumen pada penalaran.

 

Pada satuan pendidikan SMP materi yang dipelajari meliputi: bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, statistika dan peluang.

Matematika sekolah memiliki karakteritik tertentu, Okuba (2007: 241) menjelaskan salah satu karakteristik dari matematika sekolah adalah isi pembelajaran di setiap kelas didasarkan pada apa yang anak-anak pelajari pada tahun sebelumnya atau sebelumnya pada tahun yang sama, yang melibatkan tahap baru belajar. Pemahaman isi yang cukup dan prosedur sangat penting bagi siswa untuk melakukan aktivitas pemecahan masalah selanjutnya. Matematika merupakan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol, jadi konsep-konsep matematika harus dipahami lebih dulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu sendiri. Seseorang belajar mengkontruksi pengetahuannya didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.

Matematika SMP merupakan ilmu  yang memiliki  pola  keteraturan  dan  urutan  yang  logis bertujuan untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain serta berpadu pada perkembangan IPTEK yang disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa SMP.

c.    Keefektifan Pembelajaran Matematika SMP

Keefektifan pembelajaran merupakan cita-cita dan harapan sekolah sebagai institusi, masyarakat, keluarga, secara khusus guru dan siswa. Keefektifan dapat dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan atau taraf yang telah ditetapkan atau taraf yang telah berhasil dicapai. Dalam menilai keefektifan, dilakukan dengan membandingkan hasil nyata yang telah dicapai dengan hasil ideal yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai tersebut menjadi indikator berhasil tidaknya suatu kegiatan.

Keefektifan kegiatan pembelajaran dapat ditinjau dari  dua aspek penting yaitu kegiatan pengajaran guru dan kegiatan belajar siswa. Aspek ini melihat kemampuan siswa dalam menyerap atau memahami materi yang disampaikan guru.Proses pembelajaran diawali dengan penyusunan rencana pembelajaran dan rencana evaluasi pembelajaran. Maksud dan tujuan penyusunan rencana pembelajaran agar menciptakan aktivitas yang mendukung  tujuan  utama yaitu membantu siswa belajar matematika. Siswa dapat belajar dengan baik apabila guru mempersiapkan rencana pembelajaran dengan baik pula. Sementara itu, evaluasi pembelajaran dilaksanakan setelah berakhirnya proses pembelajaran.

Menurut Muijs & Reynolds (2005: 2) terdapat 8 karakteristik guru yang efektif yakni:

1) Teacher having responsibility for ordering activities during the day for pupils, i.e structured teaching. 2) pupils having some responsibility for their work and independence whitin these secions, 3) teacher covering only one curriculum area  at a time, 4) High levels of interaction with the whole class, 5) teacher providing ample, challenging work, 6) high level of pupils involvement in tasks, 7) a positive atmosphere in the classroom, and 8) teacher showing high level of praise and encouragement.

 

Makna dari pernyataan di atas adalah terdapat 8 karakteristik guru yang efektif sebagai berikut: 1) guru bertanggung jawab memerintahkan berbagai kegiatan selama jam sekolah, yakni mengajar yang berstruktur, 2) siswa memiliki tanggung jawab atas tugasnya dan bersikap mandiri selama sesi-sesi tugas tersebut,  3) setiap guru hanya mengampu satu mata pelajaran saja, 4) interaksi yang tinggi dengan seluruh kelas, 5)guru memberikan banyak tugas yang menantang, 6) keterlibatan murid yang tinggi diberbagai tugas, 7) atmosfir yang positif di kelas,  8) guru menunjukkan penghargaan dan dorongan yang besar kepada anak didiknya.

Montimore (Muijs & Reynolds, 2005: 3) menyimpulkan  faktor-faktor kelas yang berkontribusi pada hasil pembelajaran yang efektif dipihak murid adalah sesi yang terstruktur, cara mengajar yang menantang secara intelektual, lingkungan yang berorientasi pada tugas, komunikasiantara guru dan murid, dan fokus yang terbatas pada setiap sesi. Jika dipandang sebagai sebuah interaksi maka keefektifan pembelajaran bergantung pada guru.

Keefektifan pembelajaran merupakan pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Aktifitas yang  terprogram dengan baik, secara teratur dan berstruktur merupakan syarat agar dengan mudah menentukan tingkat pencapaian tujuan. melaksanakan proses pembelajaran sesuai skenario, dan melakukan evaluasi proses dan hasil belajar siswa. Keefektifan pendekatan pembelajaran mengacu pada ketuntasan belajar siswa. Ketuntasan belajar diartikan sebagai pencapaian kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran baik secara perorangan maupun secara kelompok. Menurut Djemari Mardapi (2008: 137) batas penguasaan standar keberhasilan adalah 75%. Jika 75% siswa tuntas dalam belajar maka pendekatan pembelajaran dikatakan efektif. Namun jika ketuntasan tidak mencapai 75% maka pendekatan pembelajaran dikatakan tidak efektif. Siswa dinyatakan tuntas dalam belajar jika mencapai standar yang minimal yang ditetapkan oleh sekolah.

Dalam penelitian ini, keefektifan pembelajaran matematika SMP adalah pencapaian tujuan pembelajaran secara tepat berdasarkan kriteria ketuntasan minimal dan indikator yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran matematika SMP baik secara perorangan maupun secara kelompok melalui proses kegiatan belajar matematika.

2.    Problem Based Learning

Model problem based learning biasa disebut dengan model
pembelajaran berbasis masalah. Darmadi (2017:117) menyatakan pembelajaran
berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan
masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Masalah yang
diberikan bertujuan membanguan rasa ingin tahu pada materi
pembelajaran yang dipelajari sehingga peserta didik dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada pembelajaran Problem Based learning Peserta didik didorong untuk bertanggungjawab terhadap kelompoknya dan
mengorganisir proses pembelajaran dengan bantuan instruktur atau guru.
            Menurut Hamdayama (2016:116) modelpembelajaran
problem based learning adalah pembelajaran yang memusatkan pada masalah
kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Menurut Abdullah
(2014:127) model pembelajaranproblem based learning merupakan pembelajaran
yang penyampaiannya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan,
mengajukan pertanyaa-pertanyaan, memfasilitasi penyeledikan dan membuka
dialog. Model pembelajaran problem based learning mendorong peserta didik untuk
aktif dan kreatif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan suatu masalah yang akan  meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan kreatif.
            Model pembelajaran Problem Based learning memiliki karakteristik yang membedakan dengan model pembelajaran lain. Karakteristik model pembelajaran
problem basedlearning yang dikembangkan Barrow (dalam Liu 2005:2) adalah sebagai berikut:

1)      Learning is student-centered
Proses pembelajaran dalam problem based learning lebih menitikberatkan
pada peserta didik untuk belajar. Problem based learning berdasarkan  teori konstruktivisme edimana peserta didik didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.

2)      Authentic problems from the organizing focus for learning
Masalah yang disajikan kepada peserta didik adalah masalah yang otentik
sehingga peserta didik mampu memahami masalah tersebut dan dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya dimasa yang akan datang.

3)      New information is acquired through self-directed learning
Proses pemecahan masalah memungkinkan masih terdapat peserta didik yang
belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga peserta didik berusaha untuk mencari sendiri melalui berbagai
sumber.

4)      Learning occurs in small groups
Pada pelaksanaan problem based learning, agar terjadi interaksi ilmiah dan
tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaborative,
problem based learning dilaksanakan dalam bentuk kelompok kecil.

5)      Teacher act as fasilitators
Pada pelaksanaan problem based learning, guru berperan sebagai fasilitator.
Namun, walaupun begitu guru harus selalu memantau perkembangan
aktivitas peserta didik dan mendorong peserta didik agar dapat mencapai
tujuan dari pembelajaran.


Menurut Trianto (2009:93) karakteristik model pembelajaran problem based learning yaitu: (1) adanya pengajuan pertanyaan atau masalah; (2) berfokus pada keterkaitan antar disiplin; (3) penyelidikan autentik; (4) menghasilkan produk atau karya dan mempresentasikannya; dan (5) kerja sama.

Dengan demikian problem based learning adalah suatu
model pembelajaran yang menyajikan masalah-masalah pada kehidupan nyata
sebagai sehingga peserta didik mampu mengkonstuksi pengetahuannya melalui pengalaman belajarnya yang bertujuan meningkatkan ketrampilan menyelesaikan suatu masalah. Masalah yang dijadikan pembelajaran berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh peserta didik. Dalam pelaksanaan model
problem based learning, pembelajaran dilakukan dengan cara
kolaboratif yaitu menggunakan kelompok kecil untuk menyelesaikan
permasalahan
.

3.    Discovery Learning

Pada pembelajaran saat ini sudah dikembangkan model-model pembelajaran
yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Pemilihan model
pembelajaran yang tepat sangat berperan dalam meningkatkan minat dan
semangat belajar siswa agar lebih aktif dan mencapai pemahaman konsep
yang maksimal. Model pembelajaran discovery learning pertama kali diperkenalkan
oleh Jerome Bruner yang menekankan bahwa pembelajaran harus mampu
mendorong peserta didik untuk mempelajari apa yang telah dimiliki (Rifa’I
& Anni, 2011: 233). Menurut pandangan Bruner dalam Markaban (2008:
10) belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, di mana
seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang
tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.
Pembelajaran discovery learning memberikan kesempatan kepada siswa
untuk ikut serta secara aktif dalam membangun pengetahuan yang akan
mereka peroleh. Keikutsertaan siswa mengarahkan pembelajaran pada
proses pembelajaran yang bersifat student-centered, aktif, menyenangkan,
dan memungkinkan terjadinya informasi antar-siswa, antara siswa dengan
guru, dan antara siswa dengan lingkungan

Model pembelajaran discovery learning berlandaskan pada teori-teori
belajar konstruktivis (Anyafulude, 2013: 2). Menurut pandangan
kostruktivisme, belajar adalah proses aktif siswa dalam mengonstruksi arti,
wacana, dialog, dan pengalaman fisik dimana di dalamnya terjadi proses
asimilasi dan menghubungkan pengalaman atau informasi yang sudah
dipelajari (Rifa’i & Anni, 2011: 199). Dalam pembelajaran discovery learning siswa tidak diberikan konsep dalam bentuk finalnya, melainkan siswa diajak untuk ikut serta dalam
menemukan konsep tersebut. Siswa membangun pengetahuan berdasarkan
informasi baru dan kumpulan data yang mereka gunakan dalam sebuah
pembelajaran penyelidikan (De Jong & Joolingen, 1998: 193).
Keikutsertaan menemukan konsep dalam pembelajaran memberikan kesan
yang lebih mendalam kepada siswa sehingga informasi disimpan lebih lama
dalam memori para siswa. Proses menemukan sendiri konsep yang
dipelajari juga memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan
penemuan-penemuan lain sehingga minat belajarnya semakin meningkat.
Menurut Syah dalam Kemendikbud (2013: 5), prosedur yang harus
dilaksanakan dalam proses pembelajaran disvovery learning adalah:
(1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan )

Kegiatan pertama yang harus dilakukan adalah memberikanpermasalahan yang menimbulkan rasa ingin tahu siswa untuk melakukan penyelidikan yang lebih mengenai permasalahan tersebut. Selain itu, siswa juga dapat diberikan kegiatan berupa jelajah pustaka, praktikum, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah.

(2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)

Langkah selanjutnya adalah memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ditemukan pada kegiatan awal. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah. Masalah yang telah ditemukan kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau hipotesis.

(3) Data Collection (Pengumpulan Data)

Hipotesis yang telah dikemukakan, dibuktikan kebenarannya melalui kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Pembuktian dilakukan dengan mengumpulkan data maupun informasi yang relevan melalui pengamatan, wawancara,
eksperimen, jelajah pustaka, maupun kegiatan-kegiatan lain yang mendukung dalam kegiatan membuktikan hipotesis.

(4) Data Processing (Pengolahan Data)

Data-data yang telah diperoleh selanjutnya diolah menjadi suatu
informasi yang runtut, jelas, dan bermakna. Pengolahan data dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti diacak, diklasifikasikan,
maupun dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu

4.    Kemampuan pemecahan masalah

Menurut Dahar (1989: 138), pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya, dan tidak sebagai suatu keterampilan generik. Pengertian ini mengandung makna bahwa ketika seseorang telah mampu menyelesaikan suatu masalah, maka seseorang itu telah memiliki suatu kemampuan baru. Kemampuan ini dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang relevan. Semakin banyak masalah yang dapat diselesaikan oleh seseorang, maka ia akan semakin banyak memiliki kemampuan yang dapat membantunya untuk mengarungi hidupnya sehari-hari. Sumarmo (2000: 8) berpendapat bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang ditemui untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Sementara itu Montague (2007) mengatakan bahwa pemecahan masalah matematis adalah suatu aktivitas kognitif
yang kompleks yang disertai sejumlah proses dan strategi.
Dari beberapa pendapat tersebut, pemecahan masalah matematis merupakan suatu aktivitas
kognitif yang kompleks, sebagai proses untuk mengatasi suatu masalah yang ditemui dan untuk menyelesaikannya diperlukan sejumlah strategi. Melatih siswa dengan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika bukan hanya sekedar mengharapkan siswa dapat menyelesaikan soal atau masalah yang diberikan, namun diharapkan kebiasaaan dalam melakukan proses pemecahan masalah membuatnya mampu menjalani hidup yang penuh kompleksitas permasalahan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

1.      Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (Quasi Eksperimen). Dalam penelitian ini menggunakan dua kelompok dalam satu sekolah. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1) Beberapa kelompok belajar (kelas) diambil secara acak sebanyak dua kelas, 2) memberikan pretest pemecahan masalah (PM) dan kemampuan komunikasi (KK) siswa terhadap matematika pada kedua kelompok dalam waktu yang bersamaan, 3) melakukan model pembelajaran  Problem Based Learning dan Discovery Learning dengan melakukan pengamatan kemampuan komunikasi matematika 4) memberikan posttest pemecahan masalah (PM) dan kemampuan komunikasi terhadap matematika pada kedua kelompok dalam waktu yang  bersamaan.

Rancangan eksperimen yang digunakan adalah nonequivalent groups pretest-posttest control group design (McMillan & Schumacher, 2010: 278) yang secara skematis dapat disajikan sebagai berikut:



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.    Memberikan angket komunikasi siswa terhadap matematika untuk diisi sebelum dilakukan pretest pemecahan masalah

2.    Melakukan pretest.

3.    Melaksanakan pembelajaran di kelas eksperimen 1 dengan model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning serta melakukan observasi kemampuan komunikasi

4.    Memberikan angket komunikasi siswa terhadap matematika untuk diisi sebelum dilakukan posttest pemecahan masalah.

5.    Memberikan posttest.

2.      Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas (independent) dan dua variabel terikat (dependent). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Problem Based Learning dan tipe Discovery Learning , sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi.

3.      Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini adalah data primer, data diperoleh langsung oleh peneliti dengan memberikan perlakuan kepada kedua kelas eksperimen. Teknik pengumpulan data yang dimaksud adalah cara-cara atau tahapan yang dilalui dalam pengumpulan data. Teknik pengumpulan data dengan tes untuk mengukur pemecahan masalah pada bangun datar  dan non tes untuk mengukur kemampuan komunikasi  siswa terhadap matematika dengan tahapan sebagai berikut:

1.    Menyusun instrument penelitian (silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, kisi-kisi soal pretest dan posttest untuk mengukur kemampuan pemcahan masalah pada bangun datar, dan kemampuan komunikasi terhadap pembelajaran matematika, serta rubrik penskoran sesuai dengan variabel yang akan diteliti).

2.    Meminta beberapa Dosen ahli untuk memvalidasi instrument penelitian.

3.    Melakukan ujicoba instrument penelitian.

4.    Estimasi reliabilitas instrument penelitian.

5.    Revisi instrument penelitian.

6.    Memberikan pretest kepada kedua kelompok siswa di masing-masing kelas.

7.    Melaksanakan penelitian secara bersama-sama dengan guru di sekolah.

8.    Melakukan pengamatan terhadap kemampuan komunikasi siswa

9.    Memberikan posttest kepada sampel penelitian.

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.    Tes pemecahan masalah

Bentuk instrument tes yang dipakai adalah uraian. Instrument tes dalam penelitian ini terdiri atas soal tes awal (pretest) yang digunakan untuk mengukur kemampuan awal dan tes akhir (posttest) untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah pada materi angun datar setelah perlakuan.

2.    Tes kemampuan komunikasi

Angket kepercayaan diri berbentuk dafar cocok (checklist) dengan menggunakan skala Likert yang terdiri atas lima, yaitu selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah. Pernyataan pada angket komunikasi digolongkan menjadi pernyataan positif dan pernyataan negatif.

Penyekoran untuk pernyataan positif dengan respon selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah berturut-turut adalah lima, empat, tiga, dua, satu. Untuk pernyataan negatif dengan respon selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah berturut-turut adalah satu, dua, tiga, empat, dan lima.

4.      Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Validitas Instrumen

Bukti validitas instrument yang diperlukan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) dan validitas konstruk (construct validity).

1.    Tes kemampuan pemecahan masalah

Untuk mengukur tes kemampuan pemecahan masalah bangun datar yaitu dengan menggunakan validitas isi (content validity).  Instrument mengacu pada sejauh mana item instrumen mencakup keseluruhan situasi yang ingin diukur. Validitas isi instrument tes dapat diketahui dari kesesuaian instrument tes tersebut dengan SK dan KD. Bukti validitas isi untuk instrumen tes kemampuan pemecahan masalah diperoleh berdasarkan expert judgement (Allen dan Yen, 1979:95-96). Dalam hal ini ahli berasal dari dosen program studi pendidikan matematika Universitas Negeri Yogyakarta. Validitas isi dikoreksi oleh ahli yang bertujuan untuk memperoleh bukti validitas isi kemudian direvisi berdasarkan masukan dari ahli.

 

2.    Angket kemampuan komunikasi

Pada instrument non tes yaitu angket kemampuan komunikasi matematis diukur dengan menggunakan validitas isi (content validity). Validitas isi menunjukan seberapa baik tes/non tes dari suatu pengukuran mewakili wilayah isi dari yang diukur dan bagaimana penekannya pada isi yang penting dalam pengukuran tersebut (Gronlund, 2009: 74). Instrument mengacu pada sejauh mana item instrumen mencakup keseluruhan situasi yang ingin diukur. Bukti validitas isi untuk instrumen tes kemampuan pemecahan masalah diperoleh berdasarkan expert judgement (Allen dan Yen, 1979:95-96). Dalam hal ini ahli berasal dari dosen program studi pendidikan matematika Universitas Negeri Yogyakarta. Validitas isi dikoreksi oleh ahli yang bertujuan untuk memperoleh bukti validitas isi kemudian direvisi berdasarkan masukan dari ahli.

Selain diukur dengan validitas isi, angket kemampuan komunikasi matematis juga diukur dengan menggunakan validitas kosntruk (construct validity). Validitas konstruk  mengacu pada sejauh mana suatu instrument mengukur trait atau konstruk teoritik yang hendak diukur(Allen dan Yen, 1979:108). Untuk memperoleh bukti validitas konstruk untuk instrument non tes , maka dilakukan uji coba pada SMP kelas VII. Data diperoleh dari hasil uji coba tersebut dianalisis dengan Factor Analysis. Analisis dilakukan dengan bantuan SPSS .

2.      Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas instrument tes dan non tes berhubungan dengan kepercayaan dan keajegan hasil ujicoba. Suatu ujicoba dapat dikatakan mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi jika ujicoba tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Untuk instrument ini dilakukan analisis dengan mencari indeks reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Adapun rumus Alpha Cronbach yang digunakan yaitu:

Keterangan:

          = koefisien reliabilitas

          = jumlah butir tes

     = jumlah varian skor tiap-tiap butir tes

        = varian skor total

(Ebel, 1986: 79)

Salah satu panduan umum untuk mengevaluasi koefisien reliabilitas yaitu  bahwa estimasi reliabilitas yang diharapkan paling sedikit 0,70, maka instrumen yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria.

Setelah memperoleh koefisien reliabilitas instrumen untuk masing-masing variabel dengan rumus Alpha Cronbach maka selanjutnya akan dilakukan perhitungan untuk memperoleh nilai SEM. Rumus yang digunakan untuk menghitung SEM adalah:

Keterangan:

 = eror standar pengukuran

 = standar deviasi skor

 = koefisien reliablitias intrumen

(Ebel, 1986: 80)

5.      Teknik Analisis Data

Data penelitian yang dianalisis adalah data kondisi awal dan akhir pada kemampuan pemecahan masalah bangun datar, dan  kemampuan komunikasi matematis. Data kondisi awal untuk mengetahui gambaran awal kedua kelompok siswa, selanjutnya kondisi akhir untuk memdeskripsikan data perbedaan keefektifan model pembelajaran Probem Based Learning dan Discovery Learning. Adapun analisis yang dilakukan adalah:

1.    Analisis Deskriptif

Data penelitian yang akan dianalisis adalah data pretest dan posttest kemampuan pemecahan masalah bangun datar, dan  kemampuan komunikasi matematis. Analisis deskriptif data pretes untuk mendeskripsikan kondisi awal dari dua kelompok siswa yang dilibatkan dalam penelitian, sedangkan analisis deskriptif  data posttest digunakan untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Probem Based Learning dan Discovery Learning.

Analisis data yang dimaksud, pembelajaran dikatakan efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah bangun datar dilihat dari pekerjaan siswa dilihat dari hasil pretest dan posttest. Sedangkan untuk komunikasi matematis siswa menggunakan persentase kriteria siswa dalam kategori.

Kategori keefektifan model pembelajaran aspek afektif yaitu kemampuan komunikasi matematis diperoleh dengan menggunakan instrument non-tes yang berbentuk checklist dengan skala likert. Data yang diperoleh digolongkan dalam kriteria berdasarkan tabel.

Kategorisasi komunikasi matematis siswa

No

Interval

Rentang Skor (X)

Kriteria

1.

X4,2

Sangat Baik

2.

3,4X4,2

Baik

3.

2,6X3,4

Cukup

4.

1,8X2,6

Kurang

5.

X1,8

Sangat Kurang

(Eko P. Widoyoko, 2009: 238)

Keterangan:

Untuk menentukan kriteria hasil pengukurannya digunakan klasifikasi berdasarkan:

 = Rerata ideal, = (skor maksimum ideal + skor minimum ideal)

 = Simpangan baku ideal, (skor maksimum ideal – skor minimum ideal)

X = Skor empiris

Setelah menetapkan data pengukuran kepercayaan diri siswa terhadap matematika, skor total masing-masing unit dikategorikan berdasarkan kriteria pada tabel di atas. Total skor semua unit yang telah terkumpul kemudian dihitung presentasenya untuk masing-masing kategori sangat baik, baik, cukup, kurang, dan sangat kurang.

2.     Analisis Inferensial 

a. Keefektifan model pembelajaran

Keefektifan model pembelajaran ditentukan berdasarkan hasil pretes dan posttest kemampuan pemecahan masalah dengan rubrik penskoran. Rubric penskoran terlampir.

Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

1.    Ho :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning  efektif ditinjau dari keampuan pemecahan masalah)

2.          Ho :  75,00 (Model pembelajaran  Discovery Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah)

3.    Ho :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan komunikai matematis)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis

4.    Ho :  75,00 (Model pembelajaran Discovery Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan komunikai matematis)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Discovery Learning efektif ditinjau dari kemampuan komunikai matematis)

Selanjutnya dilakukan uji one sample t-test dengan menggunakan bantuan Microsoft excel yaitu untuk melihat keefektifan masing-masing model pembelajaran kemampuan pemacahan masalah bangun datar dan komunikasi matematis siswa. Untuk melakukan uji one sample t-test jika data berdistribusi normal. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:

    adalah  rata-rata skor sampel

  adalah  rata-rata skor yang ditetapkan

    adalah  standar deviasi sampel

    adalah banyaknya anggota sampel

(Tatsuoka, 1971: 77)

Kriteria keputusan adalah  ditolak jika  dengan taraf signifikansi α = 0,05.

b. Komparasi model pembelajaran

Untuk menyelidiki perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan komunikasi matematis dilakukan dengan uji multivariat kemudian dilanjutkan uji univariat yaitu uji t untuk menentukan variabel mana yang berkontribusi terhadap perbedaan keseluruhan. Adapun tahapan pengujian adalah sebagai berikut:

a.    Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data dari masing-masing variabel berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan terhadap data yang diperoleh baik sebelum maupun setelah treatment meliputi data hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan angket kemampuan komunikasi matematis siswa, baik pada kelompok yang menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning

Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu uji Kolmogorov-Smirnov. Keputusan uji dan kesimpulan diambil pada taraf signifikansi 0,05 dengan kriteria: 1) jika signifikansi lebih besar dari 0,05 maka data berdistribusi normal; 2) jika signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.

Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut.

H0 = data yang akan diuji berdistribusi normal

Ha = data yang akan diuji tidak berdistribusi normal

Berikut hasil analisis uji normalitas yang dilakukan dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel.

b.    Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan data kondisi awal maupun data kondisi akhir. Uji homogenitas dimaksudkan untuk menguji kesamaan matriks varians-kovarians dari variabel dependen pada penelitian ini. Uji homogenitas terhadap kemampuan pemcahan masalah dan komunikas matematis  secara bersama-sama menggunakan uji Box’s M test melalui program Microsoft Excel. Kriteria pengujian ditetapkan bahwa nilai signifikansi (probabilitas) yang dihasilkan lebih besar atau sama dengan 0,05 maka varians-kovarians dari variabel dependen sama atau homogen.

c.    Uji Hipotesis

Untuk analisis dengan multivariat, data yang dianalisis adalah data yang diperoleh dari pretest, posttest, dan angket kepercayaan diri sebelum dan setelah treatment.

1.    Uji Multivariat Kondisi Awal

Pengujian hipotesisnya sebagai berikut:

H0: Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor pretest dan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Problem Based Learning dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning

Ha:  Terdapat perbedaan perbedaan rata-rata skor pretest dan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning.

2.        Uji Multivariat Kondisi Akhir

Pengujian hipotesisnya sebagai berikut:

H01: Tidak terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Ha1:  Terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Secara statistik hipotesis di atas, dapat disimbolkan sebagai berikut:

(Tidak Terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa)

(Terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa)

Dimana  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemacahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemacahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning. Sedangkan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning.

Perhitungan untuk menguji hipotesis kondisi awal dan kondisi akhir di atas, menggunakan uji multivariat. Uji multivariat menggunakan statistik T2 Hotelling dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

   : Hotelling Trace

   : ukuran sampel kelas PBL

   : ukuran sampel kelas DL

   :  vektor rata-rata skor kelas PBL

   :  vector rata-rata skor kelas DL

:  invers matriks kovarian

(Stevens, 2009: 148)

Selanjutnya nilai  ditransformasikan untuk memperoleh nilai dari distribusi F dengan menggunakan formula sebagai berikut:

(Stevens, 2009: 148)

Kriteria keputusannya adalah tolak H01 jika Fhitung  Ftabel (derajat bebasnya dk1= p dan dk2= n1+n2 - p - 1. Pengujian dilakukan menggunakan bantuan Microsoft Excel sehingga kriteria keputusannya yaitu tolak H01 jika p-value 0,05.

3.        Uji Univariat

Jika uji hipotesis multivariat kondisi akhir menyatakan bahwa terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran dengan Problem Based Learning dan model pembelajaran Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan maslaah  bangun datar, dan kemampuan komunikasi matematis , maka dilakukan uji lanjut yaitu statistik uji t univariat dengan asumsi yang harus dipenuhi adalah data berdistribusi normal dan homogen.

Pengujian hipotesis untuk prestasi belajar adalah sebagai berikut:

H02: Model pembelajaran Problem Based Learning tidak lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah.

Ha2:  Model pembelajaran Problem Based Learning  lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah

Secara statistik, hipotesis di atas dapat disimbolkan sebagai berikut:

H02 :

Ha2 :

Dimana  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemecahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemacahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning.

Pengujian hipotesis untuk kemampuan komunikasi matematis adalah sebagai berikut:

H03: Model pembelajaran Problem Based Learning  tidak lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis.

Ha3:  Model pembelajaran Problem Based Learning  lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis

Secara statistik, hipotesis di atas dapat disimbolkan sebagai berikut:

H03 :

Ha3 :

Dimana  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning denganPengujian hipotesis untuk kemampuan komunikasi matematis adalah sebagai berikut:

Pengujian hipotesis di atas, akan diuji menggunakan uji t univariat. Kriteria yang digunakan adalah kriteria Bonferroni dimana taraf signifikansinya adalah /(2), jadi = 0,05% untuk masing-masing uji t digunakan kriteria 0,05/2 = 0,025. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Jika  maka statistic uji yang digunakan adalah uji t dengan rumus.

(Stevens, 2009: 147

Jika  maka statistic uji yang digunakan adalah uji t dengan rumus.

Keterangan:

          :  nilai rata-rata kelompok PBL

          :  nilai rata-rata kelompok DL

          :  variansi kelompok PBL

          :  variansi kelompok DL

          :  banyaknya subyek PBL

          :  banyaknya subyek DL

Kriteria keputusannya adalah untuk  maka  ditolak jika  dan untuk  maka  ditolak jika  dengan

DAFTAR PUSTAKA

 

Anderson, L. W. (2000). Assesing affective characteristics in the schools (2nd ed.). USA: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

 

 

Arend, B. (2009). Encouraging critical thinking in online threaded discussions. The Journal Educator Online, volume 6, 1-23.

 

Arends, R. I. (2008). Learning to teach: belajar untuk mengajar. Diterjemahkan oleh Helly Prayitno Soetjipto dan Sri Mulyani Soetjipt. Jakarta: Pustaka Belajar.

 

Arends, R. I., & Kilcher, A. (2010). Teaching for student learning becoming an accomplished teacher. Madison Avenue: Routledge Taylor and Francis Group.

 

Bell, F. H. (1978). Teaching and learning mathematics (in scondary school). Iowa: Wm. C. Brown Company.

 

Brown, D.H. (2000). Principles of language learning and teaching (4th ed). San Fransisco State University: Addison Wesley.

 

Buskist, W., & Irons, J.G. (2008). Simple strategies for teaching your students to think critically. Teaching Critical Thinking in Psychology. A Handbook of Best Practices. Chichester: John Willey-Sons, Ltd., Publication.

 

Carrol, D. W., Kenniston, A.H., & Peden, B. F. (2008). Integrating critical thinking with course content. Teaching Critical Thinking in Psychology. A Handbook of Best Practices. Chichester: John Willey-Sons, Ltd., Publication.

 

Depdiknas. (2009). Pembelajaran yang mengembangkan critical thinking. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

 

-----------.(2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54, Tahun 2013, tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah

 

Dick, W., Carey, L., & Carey, J.O. (2001). The systematic design of instruction(5th ed). New york:  addison-weley educational publisher inc.

 

Dimyati & Mudjiono. (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Djemari Mardapi. (2008) Teknik Penyusunan Tes dan Nontes. Jogjakarta, Mitra Cendikia Offset.

Druckman, D. & Bjork, R.A. (1994). Learning, remembering, believing. USA: National Academy of Sciences.

 

Eggen, P. & Kauchak, D. (2010). Educational physicologi windows and classrooms. New Jersey: Pearson Merrill.

 

Eko Putra Widoyoko. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Elliot, S.N., Kratochwill, R.T., Cook, L.J., et al. (2000). Educational psychology: effective teaching, effective learning. New York: The Mc Graw Hill Companies, Inc.

 

Ennis, R.H. (1996). Critical thinking disposition: their nature and assessability. Informal Logic, vol 18, no 2 & 3, 165-182.

 

Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.

 

Eynde, P. O., De Corte, E., & Verschaffel, L. (2002). Framing students’ mathematics related beliefs. Dalam G. C. Leder, E. Pehkonen, & G. Toner (Eds.), Beliefs: A Hidden Variable in Mathematics Education? (pp 13-37). USA: Kluwer Academic Publisher.

 

Fisher, A. (2007). Berpikir kritis sebuah pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

 

Flammer, A. (1995). Developmental analysis of control beliefs. Dalam A. Bandura (Ed.), Self-efficacy in Changing Societies (pp 69-113). USA: Cambridge University Press.]. Elder (1995: 62) [Elder, G.H., Jr. (1995). Life trajectories in changing spcieties. Dalam A. Bandura (Ed.), Self-efficacy in Changing Societies (pp 46-68). USA: Cambridge University Press. Gable, R. K. (1986). Instrument development in the affective domain. USA: Kluwer-Nyhoff

 

Publishing.

 

Gambrill, E., & Gibbs, L. (2009). Critical thinking for helping professional. Madison Avenue: OXFORD University Press.

 

Grassi, C. (2004). Gender-based achievement, self-convidence and enrollment gaps: mathematics at trinity college. Diunduh pada tanggal 8 September 2014 dari http://www.trincoll.edu/depts/educ/Recearch/Grassi.pdf

 

Hannula, M.S., Maijala, H., & Pehkonen, E. (2004). Development of understanding and self confidence in Mathematics; grades 5-8. Journal of Mathematics education, 3, 17-24. Diambil pada tanggal 8 September 2014 dari http://www.emis.de/proceedings/PME28/RR/RR162_Hannula.pdf

 

Herman Hudojo. (1988) Mengajar  belajar matematika, Debdikbud, Jakarta.

 

Herni Rosita. (2006). Hubungan antara perilaku asesif dengan kepercayaan diri pada mahasiswa. Diunduh pada tanggal 8 September 2014 dari http://www.gunadrama.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2007/Artikel_10502099.pdf

 

Huitt, W. (Februari 1992). Problem solving and decision making: Consideration of individual differences using the myers-briggs type indikator. Journal of psicological type, 24, 33-44. Diambil pada tanggal 18 Agustus 2014. http://chiron.valdosta.edu/whuitt/context/infoage.html

 

Johnson, E. B. (2009). Contextual teaching and learning; Menjadikan kegiatan belajar mengajar mengasyikan dan bermakna. Bandung: Mizan.

 

Jhonson, D. W & Jhonson, R. T . (1987). Learning together and alone: cooperative, comvetitive, and individualistic learning. (2nd ed). New Jersey: Prentice-Hell,Inc.

 

Joyce, B & Weil, M. (2004). Model of  teaching. Seventh edition. Boston: pearson education, inc.

 

Jurdak, M. (2009). Toward equity in quality in mathematics education. New York: Springer Science Business Media, LI.C.

 

Kuebli, J. E., Harvey, R.D., & Korn, J. H. (2008). Critical thinking in critical course: prinsiples and applications. Teaching Critical Thinking in Psychology. A Handbook of Best Practices. Chichester: John Willey-Sons, Ltd., Publication.

 

Lefrancois, G. R. (2000). Psychology for teaching. Belmont: Wadsworth.

 

Lie,  A.  (2002).  Cooperative  learning;  mempraktekkan  cooperative  learning  di ruang-ruang kelas. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

McLeod, D.B. (1991). The role of affect. Dalam Fennema, E., Carpenter, T.P., & Lamon, S. J. (Eds.), Integrating Research on Teaching and Learning Mathematics (pp 56-82). New York: State University New York Press, Albany.

 

Manning, G. & Curtis, K. (2003). The art of leadership. New York. McGrawHill.

 

Markaban. (2006). Model pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing. Yogyakarta: Depdiknas.

 

Middleton, J.A. & Spanias, P.A. (1999). Motivation for achievement in mathematics: findings, generalization, and criticismn of the research. Journal for research in Mathematics Educations, 30, 65-88.

 

Molloy, A. (2010). Coach your self to success mimpi tercapai, target terpenuhi. (Terjemahan Retnadi Nur’aini dari ASPIRATIONS: 8 Easy Steps to Coach Yourself to Succes). New Zealand: Random House New Zealand. (Buku asli diterbitkan tahun 2003).

 

 

Mayer, R. E. (January 2004). Should there be a three-strikes rule against pure discovery learning; the case for guided method of instruction. American psychologist. University of California, Santa Barbara. Vol. 59, No. 1, 14-19. Diambil pada tanggal 18 Agustus 2014, dari www.davidlewisphd.com/courses/EDD8001/weeklys/2004-Mayer.pdf.

 

Moon, J. (2008). Critical thinking. An exploration of theory and practice. Madison Avenue: Routledge Taylor & Francis.

 

Moore, K. D. (2009). Effective instructional strategies: from theory to practice. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc.

 

Muijs, D., & Reynolds, D. (2005). Effective teaching evidence and practice. (2nd ed.). London: SAGE Publication.

 

NCTM. (2000). Principles and standars for school mathematics. USA: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

 

Nitko, Anthony J. & Susan M. Brookhart. (2007). Educational Assesment of Students. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.

 

 

Nunes, et al. (2009). Development of maths capabilities and confidence in primary School. Research Rreport DCSF-RR118.

 

Nur Gufron, M. Rini, RS. (2010). Teori-teori psikologi. Jogjakarta: Ar-Zuzz media.

 

Oemar, Hamalik. (2009). Proses belajar mengajar. Jakarta: Bumi aksara.

Okuba, K. (2007). Mathematical thinking from the perspectives of problem solving and area of learning contents:in Progress report of the APEC project: “Colaborative Studies on Innovations for Teaching and Learning Mathematics in Diferent Cultures (II) – Lesson Study focusing on Mathematical Thinking -”, Tokyo: CRICED, University of Tsukuba.

 

Orlich, D.C, Harder, J.R., Callahan R.C., et al. (2007). Teaching strategies. A guide to effective instruction. Boston: Houghton Mifflin Company.

 

 

Orton, Anthony. (2004). Learning Mathematics: Issues, theory and classroom practice. (3rd ed). New York: Continuum.

 

Parson, S., Croft, T., & Harrison, M. (2001). Engineering students self-confidence in mathematics mapped onto Bandura’s self-efficacy. Engineering Education. Vol: 6 issue 1, pp: 52-61.

 

Paul Suparno (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

 

Preston, D. W. (2007). 365 steps to self-confidence. UK: British Library Cataloguing.

 

Romberg,T.A., & Kaput,J.J.(2009). Mathematics worth teaching, mathematics worth understanding. Dalam E. Fennema  &  T.A.  Romberg  (Eds.), Mathematics  classrooms  that  promote  understanding  (pp.  3-18). Mahwah, NJ: Taylor & Francis e-Library.

 

Renstein, A., & Lander, G.H. (1990). Developing critical thinking in college programs. Journal of Scientific. Exploration, Vol.4, No. 2. 123-136.

 

Roe, B.D., & Ross, E.P. (1994). Student teaching and field experiences handbook (4th edition). New York: Macmillan Publishing Company.

 

Santrock, J. W. (2009) Psikologi pendidikan (edisi 3). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

 

Saurino, D. R. (2008). Concept journaling to increase critical thinking dispositions and problem solving skills in adult education. The Journal of Human Resource and Adult Learning, Vol. 4, Num. 1, 170-178.

 

Schiro, M. S. (2009). Mega-fun math games and puzzles for the elementary grades. USA: John Wiley & Sons, Inc.

 

Schunk, D. H. (2008). Learning theories: An educational perspective. (5rd ed). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.

 

Sharan. Shlomo. (2009). Handbook of Cooperative Learning (Inovasi Pengajaran dan Pembelajaran untuk Memacu Keberhasilan Siswa di Kelas). Yogyakarta: Imperium.

 

Sherman. B. F. and Wither. D. P. (2003), Mathematics Anxiety and Mathematics Achievement. Diambil pada tanggal 8 September 2014 dari  http://www.ejmste.com/v3n4/EJMSTE_v3n4_Akinsola_etal.pdf

 

Slavin, R.E. (2005). Cooperative learning: teory, research, and practice (2nd ed). Sydney: AllymandBroon.

 

Slavin, R. E. (2006). Educational psychology: theory into practice. Boston: Allyn and Bacon.

 

Stahl, R. J. (1994) Cooperative learning in social studies: A Handbook for Teacher. New York: Addision Wesley Publishing Company, Inc.

 

Stevens, T. G. (2010). Self-confidence-our expectations of success. Diambil tanggal 19 Oktober 2011 dari http://www.csulb.edu/~tstevens/h54confi.htm.

 

Stevenson. H. W.et. al (1998). Mathematics achievement of Chinese, Japanese and American childrent. Diambil pada tanggal 8 September 2014 pada http://www.spa.ucla.edu/ps/pdf/s99/PS294assign/achievement.pdf

 

Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Innovative, Progresif. Surabaya: Kencana Prenada.

 

Van de Walle, J. A. (2007). Sekolah dasar dan menengah: pengembangan pengajaran. (Terjemahan Suyono ). Jakarta: Erlangga.

 

Westwood, P. (2008). What teachers need to know about teaching methods. Camberwell Victoria: ACER Press.

 

Wina Sanjaya, (2006). Strategi Pembelajaran berorientasi proses standar proses pendidikan, Jakarta : Kencana Prima.

 

Yoder, J. & Proctor, W. (1988). The self-confident  child. New York: Fact on File Publications.

 

Zimmerman, B.J., Bonner, S., & Kovach, R. (1996). Developing self-regulated learners beyond achievement to self-efficacy (psychology in the classroom). USA: American Psychological Association.

 

 

 

 

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN METODE PROBLEM BASED LEARNING DAN DISCOVERY LEARNING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA DI MASA PANDEMI

Disusun guna memenuhi tugas akhir Daya Matematika

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Fakultas, Jurusan Dan Logo UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) - rekreartiveLogo-UNY-Universitas-Negeri-Yogyakarta-Hitam-Putih.png

Nama                           : Ardiana Purnamasari

NIM                            : 21309251060

Kelas                           : C

 

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2021

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pelajaran matematika disekolah masih dianggap sebagai pelajaran yang sulit oleh siswa. Anggapan tersebut muncul karena masih banyak guru di sekolah yang menggunakan metode pembelajaran konvensional. Akibatnya matematika hanya sebatas teori dan siswa hanya menghafal rumus-rumus yang diberikan guru. Hal tersebut menjadikan pembelajaran kurang bermakna.  Paradigma pembelajaran matematika yang tadinya berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa. Guru seharusnya hanya sebagai fasilitator. Siswa harus berperan aktif dalam pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Pembelajaran bermakna menurut Ausubel (1963) merupakan proses mengaitkan informasi atau materi baru dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kebermaknaan dalam suatu pembelajaran, yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Pembelajaran bermakna berkaitan erat dengan pembelajaran konstruktivisme. Paham ini berpendapat bahwa siswa mengkonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks sosial. Teori belajar ini merupakan teori tentang penciptaan makna. Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh Piaget (Piagetian Psychological Constructivism) yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui dan dipercayai dengan fenomena, ide atau informasi baru yang dipelajari. Piaget menjelaskan bahwa setiap siswa membawa pengertian dan pengetahuan awal yang sudah dimilikinya ke dalam setiap proses belajar yang harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi yang dijumpai dalam proses belajar. Itulah sebabnya Vygotsky menyatakan bahwa proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu dan melalui interaksi dalam suatu konteks social.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang menggunakan paham konstruktivisme adalah pendekatan saintifik. Menurut Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014, pendekatan saintifik dioperasionalisasikan dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang di dalamnya memuat pengalaman belajar dalam bentuk kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan  informasi (mencoba), menalar (mengasosiasi), dan mengomunikasikan. Untuk mendapatkan kelima pengalaman tersebut, Permendikbud No 22 Tahun 2016, merekomendasikan agar diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning), pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem based learning, dan pembelajaran berbasis proyek (project based learning). Dalam penelitian akan dilakasanakan pembelajaran dengan Problem Based Learning  dan Discovery Learning.

Perlunya diterapkan pendekatan saintifik karena daya matematis siswa masih kurang. Daya matematis menurut NCTM terdiri dari kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, kemampuan koneksi, kemampuan penalaran dan representasi matematis. Sedangkan dalam NAEP Mathematics mendefiniikan daya matematis sebagai kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, dan kemampuan penalaran. Penelitian Setyaningsih,et.all (2021)  menunjukan Kurangnya pemahaman dan ketelitian siswa dalam proses pemecahan masalah. Penelitian Perwitasari, et.al (2017) mengungkapkan bahwa kemampuan komunikasi siswa dalam pembelajaran masih kurang. Penelitian dari Taubah (2018) menunjukan bahwa bahwa guru lebih sering mengajar siswa dengan memberikan sebuah jawaban yang benar dan siswa tidak dapat dengan bebas mengungkapkan pemikirannya tentang masalah sehingga siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dari beberapa penelitian tersebut menunjukan masih kurangnya kemampuan siswa dalam aspek-aspek yang terdapat dalam pengertian daya matematis. Oleh karena itu sangat diperlukan upaya untuk meningkatkan daya matematis siswa. Salah satu cara untuk meningkatkan daya matematis adalah dengan menerapkan pendekatan saintifik.

Penelitian Musta’in (2015) Pembelajaran geometri tentang sifat-sifat bangun datar yang kurang begitu memuaskan. Dari analisis evaluasi hasil belajar yang dilakukan peneliti menemukan bahwa rendahnya hasil belajar siswa tersebut dikarenakan siswa tidak memahami materi geometri tentang sifat-sifat bangun datar. Kemudian penelitian Jamaludin (2021) menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pada materi segiempat masih kurang maksimal.  Materi bangun datar erat kaitannya dengan benda-benda yang ada di sekitar siswa. Jika pembelajaran melibatkan benda-benda yang ada disekitar siswa kebermaknaan proses belajar akan dirasakan sehingga diharapkan siswa dapat lebih memahami materi Bangun Datar. Melihat kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal mengenai bangun datar penelitian ini akan difokuskan pada materi Bangun Datar kelas VII.

Tantangan terbaru dalam dunia pendidikan saat ini adalah kondisi pandemi yang mengharuskan manusia membatasi aktivitas, termasuk aktivitas belajar mengajar yang juga harus dilangsungkan dengan jarak jauh. Guru dituntut mampu melaksanakan pembelajaran dalam jaringan internet (daring). Pembelajaran melalui daring dapat dilaksankan dengan media WA, Zoom, E-learning atau media jejaring sosial lainnya.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1.      Siswa kesulitan dalam menyelesaikan masalah terkait materi Bangun Datar

2.      Kurangnya kemampuan pemecahan masalah yang merupakan salah satu aspek daya matematika siswa dalam pelajaran Matematika

3.      Kurangnya kemampuan komunikasi matematis sebagai salah satu aspek daya matematika siswa dalam pembelajaran .

4.      Guru lebih sering mengajar siswa dengan memberikan sebuah jawaban yang benar dan siswa tidak dapat dengan bebas mengungkapkan pemikirannya tentang masalah yang diberikan.

C. RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning efektif dalam meningkatkan daya matematika pada aspek pemecahan masalah?

2.      Apakah model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning efekti dalam meningkatkan daya matematika pada aspek komunikasi?

3.      Lebih baik mana antara Problem Based Learning dan Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa dengan kemampuan komunikasi siswa?

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KAJIAN TEORI

1.    Keefektifan Pembelajaran Matematika SMP

a.    Pengertian Pembelajaran Matematika

 Pembelajaran dalam bahasa inggris adalah instruction, yang berarti proses membuat orang belajar.  Dick et al. (2001:2) menyatakan bahwa “a more contempory view of instruction is that it is a systematic process in which every component (i.e., teacher, learners, materials, and learning evironment) is crucial to successful learning”. Maknanya  pembelajaran adalah suatu proses yang sistematis di mana setiap komponen (yaitu, guru, pelajar, bahan, dan lingkungan belajar) sangat penting untuk sukses belajar. 

Menurut Oemar Hamalik (2005: 57) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat peserta didik belajar secara aktif, yang menekankan penyediaan sumber belajar (Dimyati & Mudjiono, 2006: 297).

Proses pembelajaran dapat terselenggara secara lancar, efektif, dan efisien dengan adanya interaksi yang positif, konstruktif, dan produktif antara berbagai komponen yang terkandung dalam sistem pembelajaran tersebut termasuk yang paling utama adalah antara guru dengan peserta didik. Pembelajaran merupakan  sebuah program pendidikan yang sengaja diselenggarakan untuk mencapai sejumlah tujuan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses yang sengaja disusun  untuk mencapai tujuan pembelajaran serta agar peserta didik dapat menerapkan pengetahuan dan mengkonstruksi pengetahuan baru dalam kegiatan belajarnya.

b.    Pembelajaran Matematika SMP

1)   Matematika SMP

Matematika perlu  diberikan  kepada  semua  peserta  didik  mulai  dari  sekolah  dasar untuk  membekali  peserta  didik  dengan  kemampuan  berpikir  logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Van de Walle (2008: 13), menyatakan matematika adalah ilmu tentang pola dan aturan.  Matematika  merupakan  ilmu  tentang  sesuatu  yang memiliki  pola  keteraturan  dan  urutan  yang  logis. 

Matematika yang dipelajari pada jenjang pendidikan disebut dengan matematika sekolah. Matematika sekolah merupakan bagian dari matematika dalam satuan pendidikan tertentu yang disesuaikan dengan perkembangan kognitif peserta didik.

Romberg dan Kaput (2009:5) mengatakan bahwa matematika sekolah merupakan suatu kegiatan manusia yang mencerminkan hasil karya matematikawan yakni mencari tahu mengapa dan bagaimana suatu teknik atau trik tertentu dapat bekerja, menemukan trik baru, membenarkan pertanyaan, dan lain sebagainya. Pembelajaran matematika juga harus mencerminkan bagaimana pengguna matematika menyelidiki situasi masalah, menentukan variabel-variabel, melakukan perhitungan, dan memverifikasi kebenaran prediksi tersebut.

Tujuan pelajaran matematika di sekolah menurut Permendiknas Nomor 58 tahun 2013 tentang standar isi, agar peserta didik memiliki kemampuan  sebagai berikut:

1.    Memahamikonsep matematika, merupakan kompetensi dalam menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan menggunakan konsep maupun  algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari

b.   mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut

c.    mengidentifikasi sifat-sifat operasi atau konsep

d.   menerapkan konsep secara logis.

e.    memberikan contoh atau contoh kontra (bukan contoh) dari konsep yang dipelajari

f.    menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematis (tabel, grafik, diagram, gambar, sketsa, model matematika, atau cara lainnya)

g.   mengaitkan berbagai konsep dalam matematika maupun di luar matematika.

h.   mengembangkan syarat perlu dan /atau syarat cukup suatu konsep

2.    Termasuk dalam kecakapan ini adalah melakukan algoritma atau prosedur, yaitu kompetensi yang ditunjukkan saat  bekerja dan menerapkan konsep-konsep matematika seperti  melakukan operasi hitung, melakukan operasi aljabar, melakukan manipulasi aljabar, dan keterampilan melakukan pengukuran dan melukis/ menggambarkan /merepresentasikan konsep keruangan. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur/algoritma

b.   memodifikasi atau memperhalus prosedur

c.    mengembangkan prosedur

d.   Menggunakan matematika dalam konteks matematika seperti melakukan operasi matematika yang standar ataupun tidak standar (manipulasi aljabar) dalam menyelesaikan masalah matematika

3.    Menggunakan pola sebagai dugaan dalam  penyelesaian masalah, dan mampu membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada.Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    mengajukan dugaan (conjecture)

b.   menarik kesimpulan dari suatu pernyataan

c.    memberikan alternatif bagi suatu argumen

d.   menemukan pola pada suatu gejala matematis

4.    Menggunakan penalaran pada sifat, melakukan manipulasi matematika baik dalam penyederhanaan, maupun menganalisa komponen yang ada dalam pemecahan masalah dalam konteks matematika maupun di luar matematika (kehidupan nyata, ilmu, dan teknologi) yang meliputi kemampuan memahami masalah, membangun model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperolehtermasuk dalam rangka memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (dunia nyata). Masalah ada yang bersifat rutin maupun yang tidak rutin. Masalah tidak rutin adalah masalah baru bagi siswa, dalam arti memiliki tipe yang berbeda dari masalah-masalah yang telah dikenal siswa. Untuk menyelesaikan masalah tidak rutin, tidak cukup bagi siswa untuk meniru cara penyelesaian masalah-masalah yang telah dikenalnya, melainkan ia harus melakukan usaha-usaha tambahan, misalnya dengan melakukan modifikasi pada cara penyelesaian masalah yang telah dikenalnya, atau memecah masalah tidak rutin itu ke dalam beberapa masalah yang telah dikenalnya, atau merumuskan ulang masalah tidak rutin itu menjadi masalah yang telah dikenalnya. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    memahami masalah

b.   mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam mengidentifikasi masalah.

c.    menyajikan suatu rumusan masalah secara matematis dalam berbagai bentuk

d.   memilih pendekatan dan strategi yang tepat untuk memecahkan masalah

e.    menggunakan atau mengembangkan strategi pemecahan masalah

f.    menafsirkan hasil jawaban yang diperoleh untuk memecahkan masalah

g.   menyelesaikan masalah.

5.    Mengkomunikasikan gagasan,penalaran serta mampu menyusun bukti matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan

b.   Menduga dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture)

c.    memeriksa kesahihan atau kebenaran suatu argumen dengan penalaran induksi

d.   Menurunkan atau membuktikan rumus dengan penalaran deduksi

e.    Menduga dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture)

6.    Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a.    memiliki rasa ingin tahu yang tinggi

b.   bersikap penuh perhatian dalam belajar matematika

c.    bersikap antusias dalam belajar matematika

d.   bersikap gigih dalam menghadapi permasalahan

e.    memiliki penuh percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah

7.    Memiliki sikap dan perilaku  yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika dan pembelajarannya, seperti taat azas, konsisten,  menjunjung tinggi kesepakatan, toleran, menghargai pendapat orang lain, santun, demokrasi, ulet, tangguh, kreatif, menghargai kesemestaan (konteks, lingkungan), kerjasama, adil, jujur, teliti, cermat, bersikap luwes dan terbuka, memiliki kemauan berbagi rasa dengan orang lain

8.    Melakukan kegiatan–kegiatan motorik yang menggunakan pengetahuan matematika

9.    Menggunakan alat peraga sederhana  maupun hasil teknologi untuk melakukan kegiatan-kegiatan matematika. Kecakapan atau kemampuan-kemampuan tersebut saling terkait erat, yang satu memperkuat sekaligus membutuhkan yang lain. Sekalipun tidak dikemukakan secara eksplisit, kemampuan berkomunikasi muncul dan diperlukan di berbagai kecakapan, misalnya untuk menjelaskan gagasan pada Pemahaman Konseptual, menyajikan rumusan dan penyelesaian masalah, atau mengemukakan argumen pada penalaran.

 

Pada satuan pendidikan SMP materi yang dipelajari meliputi: bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, statistika dan peluang.

Matematika sekolah memiliki karakteritik tertentu, Okuba (2007: 241) menjelaskan salah satu karakteristik dari matematika sekolah adalah isi pembelajaran di setiap kelas didasarkan pada apa yang anak-anak pelajari pada tahun sebelumnya atau sebelumnya pada tahun yang sama, yang melibatkan tahap baru belajar. Pemahaman isi yang cukup dan prosedur sangat penting bagi siswa untuk melakukan aktivitas pemecahan masalah selanjutnya. Matematika merupakan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol, jadi konsep-konsep matematika harus dipahami lebih dulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu sendiri. Seseorang belajar mengkontruksi pengetahuannya didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.

Matematika SMP merupakan ilmu  yang memiliki  pola  keteraturan  dan  urutan  yang  logis bertujuan untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain serta berpadu pada perkembangan IPTEK yang disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa SMP.

c.    Keefektifan Pembelajaran Matematika SMP

Keefektifan pembelajaran merupakan cita-cita dan harapan sekolah sebagai institusi, masyarakat, keluarga, secara khusus guru dan siswa. Keefektifan dapat dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan atau taraf yang telah ditetapkan atau taraf yang telah berhasil dicapai. Dalam menilai keefektifan, dilakukan dengan membandingkan hasil nyata yang telah dicapai dengan hasil ideal yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai tersebut menjadi indikator berhasil tidaknya suatu kegiatan.

Keefektifan kegiatan pembelajaran dapat ditinjau dari  dua aspek penting yaitu kegiatan pengajaran guru dan kegiatan belajar siswa. Aspek ini melihat kemampuan siswa dalam menyerap atau memahami materi yang disampaikan guru.Proses pembelajaran diawali dengan penyusunan rencana pembelajaran dan rencana evaluasi pembelajaran. Maksud dan tujuan penyusunan rencana pembelajaran agar menciptakan aktivitas yang mendukung  tujuan  utama yaitu membantu siswa belajar matematika. Siswa dapat belajar dengan baik apabila guru mempersiapkan rencana pembelajaran dengan baik pula. Sementara itu, evaluasi pembelajaran dilaksanakan setelah berakhirnya proses pembelajaran.

Menurut Muijs & Reynolds (2005: 2) terdapat 8 karakteristik guru yang efektif yakni:

1) Teacher having responsibility for ordering activities during the day for pupils, i.e structured teaching. 2) pupils having some responsibility for their work and independence whitin these secions, 3) teacher covering only one curriculum area  at a time, 4) High levels of interaction with the whole class, 5) teacher providing ample, challenging work, 6) high level of pupils involvement in tasks, 7) a positive atmosphere in the classroom, and 8) teacher showing high level of praise and encouragement.

 

Makna dari pernyataan di atas adalah terdapat 8 karakteristik guru yang efektif sebagai berikut: 1) guru bertanggung jawab memerintahkan berbagai kegiatan selama jam sekolah, yakni mengajar yang berstruktur, 2) siswa memiliki tanggung jawab atas tugasnya dan bersikap mandiri selama sesi-sesi tugas tersebut,  3) setiap guru hanya mengampu satu mata pelajaran saja, 4) interaksi yang tinggi dengan seluruh kelas, 5)guru memberikan banyak tugas yang menantang, 6) keterlibatan murid yang tinggi diberbagai tugas, 7) atmosfir yang positif di kelas,  8) guru menunjukkan penghargaan dan dorongan yang besar kepada anak didiknya.

Montimore (Muijs & Reynolds, 2005: 3) menyimpulkan  faktor-faktor kelas yang berkontribusi pada hasil pembelajaran yang efektif dipihak murid adalah sesi yang terstruktur, cara mengajar yang menantang secara intelektual, lingkungan yang berorientasi pada tugas, komunikasiantara guru dan murid, dan fokus yang terbatas pada setiap sesi. Jika dipandang sebagai sebuah interaksi maka keefektifan pembelajaran bergantung pada guru.

Keefektifan pembelajaran merupakan pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Aktifitas yang  terprogram dengan baik, secara teratur dan berstruktur merupakan syarat agar dengan mudah menentukan tingkat pencapaian tujuan. melaksanakan proses pembelajaran sesuai skenario, dan melakukan evaluasi proses dan hasil belajar siswa. Keefektifan pendekatan pembelajaran mengacu pada ketuntasan belajar siswa. Ketuntasan belajar diartikan sebagai pencapaian kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran baik secara perorangan maupun secara kelompok. Menurut Djemari Mardapi (2008: 137) batas penguasaan standar keberhasilan adalah 75%. Jika 75% siswa tuntas dalam belajar maka pendekatan pembelajaran dikatakan efektif. Namun jika ketuntasan tidak mencapai 75% maka pendekatan pembelajaran dikatakan tidak efektif. Siswa dinyatakan tuntas dalam belajar jika mencapai standar yang minimal yang ditetapkan oleh sekolah.

Dalam penelitian ini, keefektifan pembelajaran matematika SMP adalah pencapaian tujuan pembelajaran secara tepat berdasarkan kriteria ketuntasan minimal dan indikator yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran matematika SMP baik secara perorangan maupun secara kelompok melalui proses kegiatan belajar matematika.

2.    Problem Based Learning

Model problem based learning biasa disebut dengan model
pembelajaran berbasis masalah. Darmadi (2017:117) menyatakan pembelajaran
berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan
masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Masalah yang
diberikan bertujuan membanguan rasa ingin tahu pada materi
pembelajaran yang dipelajari sehingga peserta didik dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada pembelajaran Problem Based learning Peserta didik didorong untuk bertanggungjawab terhadap kelompoknya dan
mengorganisir proses pembelajaran dengan bantuan instruktur atau guru.
            Menurut Hamdayama (2016:116) modelpembelajaran
problem based learning adalah pembelajaran yang memusatkan pada masalah
kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Menurut Abdullah
(2014:127) model pembelajaranproblem based learning merupakan pembelajaran
yang penyampaiannya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan,
mengajukan pertanyaa-pertanyaan, memfasilitasi penyeledikan dan membuka
dialog. Model pembelajaran problem based learning mendorong peserta didik untuk
aktif dan kreatif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan suatu masalah yang akan  meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan kreatif.
            Model pembelajaran Problem Based learning memiliki karakteristik yang membedakan dengan model pembelajaran lain. Karakteristik model pembelajaran
problem basedlearning yang dikembangkan Barrow (dalam Liu 2005:2) adalah sebagai berikut:

1)      Learning is student-centered
Proses pembelajaran dalam problem based learning lebih menitikberatkan
pada peserta didik untuk belajar. Problem based learning berdasarkan  teori konstruktivisme edimana peserta didik didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.

2)      Authentic problems from the organizing focus for learning
Masalah yang disajikan kepada peserta didik adalah masalah yang otentik
sehingga peserta didik mampu memahami masalah tersebut dan dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya dimasa yang akan datang.

3)      New information is acquired through self-directed learning
Proses pemecahan masalah memungkinkan masih terdapat peserta didik yang
belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga peserta didik berusaha untuk mencari sendiri melalui berbagai
sumber.

4)      Learning occurs in small groups
Pada pelaksanaan problem based learning, agar terjadi interaksi ilmiah dan
tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaborative,
problem based learning dilaksanakan dalam bentuk kelompok kecil.

5)      Teacher act as fasilitators
Pada pelaksanaan problem based learning, guru berperan sebagai fasilitator.
Namun, walaupun begitu guru harus selalu memantau perkembangan
aktivitas peserta didik dan mendorong peserta didik agar dapat mencapai
tujuan dari pembelajaran.


Menurut Trianto (2009:93) karakteristik model pembelajaran problem based learning yaitu: (1) adanya pengajuan pertanyaan atau masalah; (2) berfokus pada keterkaitan antar disiplin; (3) penyelidikan autentik; (4) menghasilkan produk atau karya dan mempresentasikannya; dan (5) kerja sama.

Dengan demikian problem based learning adalah suatu
model pembelajaran yang menyajikan masalah-masalah pada kehidupan nyata
sebagai sehingga peserta didik mampu mengkonstuksi pengetahuannya melalui pengalaman belajarnya yang bertujuan meningkatkan ketrampilan menyelesaikan suatu masalah. Masalah yang dijadikan pembelajaran berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh peserta didik. Dalam pelaksanaan model
problem based learning, pembelajaran dilakukan dengan cara
kolaboratif yaitu menggunakan kelompok kecil untuk menyelesaikan
permasalahan
.

3.    Discovery Learning

Pada pembelajaran saat ini sudah dikembangkan model-model pembelajaran
yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Pemilihan model
pembelajaran yang tepat sangat berperan dalam meningkatkan minat dan
semangat belajar siswa agar lebih aktif dan mencapai pemahaman konsep
yang maksimal. Model pembelajaran discovery learning pertama kali diperkenalkan
oleh Jerome Bruner yang menekankan bahwa pembelajaran harus mampu
mendorong peserta didik untuk mempelajari apa yang telah dimiliki (Rifa’I
& Anni, 2011: 233). Menurut pandangan Bruner dalam Markaban (2008:
10) belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, di mana
seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang
tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.
Pembelajaran discovery learning memberikan kesempatan kepada siswa
untuk ikut serta secara aktif dalam membangun pengetahuan yang akan
mereka peroleh. Keikutsertaan siswa mengarahkan pembelajaran pada
proses pembelajaran yang bersifat student-centered, aktif, menyenangkan,
dan memungkinkan terjadinya informasi antar-siswa, antara siswa dengan
guru, dan antara siswa dengan lingkungan

Model pembelajaran discovery learning berlandaskan pada teori-teori
belajar konstruktivis (Anyafulude, 2013: 2). Menurut pandangan
kostruktivisme, belajar adalah proses aktif siswa dalam mengonstruksi arti,
wacana, dialog, dan pengalaman fisik dimana di dalamnya terjadi proses
asimilasi dan menghubungkan pengalaman atau informasi yang sudah
dipelajari (Rifa’i & Anni, 2011: 199). Dalam pembelajaran discovery learning siswa tidak diberikan konsep dalam bentuk finalnya, melainkan siswa diajak untuk ikut serta dalam
menemukan konsep tersebut. Siswa membangun pengetahuan berdasarkan
informasi baru dan kumpulan data yang mereka gunakan dalam sebuah
pembelajaran penyelidikan (De Jong & Joolingen, 1998: 193).
Keikutsertaan menemukan konsep dalam pembelajaran memberikan kesan
yang lebih mendalam kepada siswa sehingga informasi disimpan lebih lama
dalam memori para siswa. Proses menemukan sendiri konsep yang
dipelajari juga memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan
penemuan-penemuan lain sehingga minat belajarnya semakin meningkat.
Menurut Syah dalam Kemendikbud (2013: 5), prosedur yang harus
dilaksanakan dalam proses pembelajaran disvovery learning adalah:
(1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan )

Kegiatan pertama yang harus dilakukan adalah memberikanpermasalahan yang menimbulkan rasa ingin tahu siswa untuk melakukan penyelidikan yang lebih mengenai permasalahan tersebut. Selain itu, siswa juga dapat diberikan kegiatan berupa jelajah pustaka, praktikum, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah.

(2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)

Langkah selanjutnya adalah memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ditemukan pada kegiatan awal. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah. Masalah yang telah ditemukan kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau hipotesis.

(3) Data Collection (Pengumpulan Data)

Hipotesis yang telah dikemukakan, dibuktikan kebenarannya melalui kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Pembuktian dilakukan dengan mengumpulkan data maupun informasi yang relevan melalui pengamatan, wawancara,
eksperimen, jelajah pustaka, maupun kegiatan-kegiatan lain yang mendukung dalam kegiatan membuktikan hipotesis.

(4) Data Processing (Pengolahan Data)

Data-data yang telah diperoleh selanjutnya diolah menjadi suatu
informasi yang runtut, jelas, dan bermakna. Pengolahan data dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti diacak, diklasifikasikan,
maupun dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu

4.    Kemampuan pemecahan masalah

Menurut Dahar (1989: 138), pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya, dan tidak sebagai suatu keterampilan generik. Pengertian ini mengandung makna bahwa ketika seseorang telah mampu menyelesaikan suatu masalah, maka seseorang itu telah memiliki suatu kemampuan baru. Kemampuan ini dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang relevan. Semakin banyak masalah yang dapat diselesaikan oleh seseorang, maka ia akan semakin banyak memiliki kemampuan yang dapat membantunya untuk mengarungi hidupnya sehari-hari. Sumarmo (2000: 8) berpendapat bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang ditemui untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Sementara itu Montague (2007) mengatakan bahwa pemecahan masalah matematis adalah suatu aktivitas kognitif
yang kompleks yang disertai sejumlah proses dan strategi.
Dari beberapa pendapat tersebut, pemecahan masalah matematis merupakan suatu aktivitas
kognitif yang kompleks, sebagai proses untuk mengatasi suatu masalah yang ditemui dan untuk menyelesaikannya diperlukan sejumlah strategi. Melatih siswa dengan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika bukan hanya sekedar mengharapkan siswa dapat menyelesaikan soal atau masalah yang diberikan, namun diharapkan kebiasaaan dalam melakukan proses pemecahan masalah membuatnya mampu menjalani hidup yang penuh kompleksitas permasalahan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

1.      Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (Quasi Eksperimen). Dalam penelitian ini menggunakan dua kelompok dalam satu sekolah. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1) Beberapa kelompok belajar (kelas) diambil secara acak sebanyak dua kelas, 2) memberikan pretest pemecahan masalah (PM) dan kemampuan komunikasi (KK) siswa terhadap matematika pada kedua kelompok dalam waktu yang bersamaan, 3) melakukan model pembelajaran  Problem Based Learning dan Discovery Learning dengan melakukan pengamatan kemampuan komunikasi matematika 4) memberikan posttest pemecahan masalah (PM) dan kemampuan komunikasi terhadap matematika pada kedua kelompok dalam waktu yang  bersamaan.

Rancangan eksperimen yang digunakan adalah nonequivalent groups pretest-posttest control group design (McMillan & Schumacher, 2010: 278) yang secara skematis dapat disajikan sebagai berikut:



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.    Memberikan angket komunikasi siswa terhadap matematika untuk diisi sebelum dilakukan pretest pemecahan masalah

2.    Melakukan pretest.

3.    Melaksanakan pembelajaran di kelas eksperimen 1 dengan model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning serta melakukan observasi kemampuan komunikasi

4.    Memberikan angket komunikasi siswa terhadap matematika untuk diisi sebelum dilakukan posttest pemecahan masalah.

5.    Memberikan posttest.

2.      Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas (independent) dan dua variabel terikat (dependent). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Problem Based Learning dan tipe Discovery Learning , sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi.

3.      Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini adalah data primer, data diperoleh langsung oleh peneliti dengan memberikan perlakuan kepada kedua kelas eksperimen. Teknik pengumpulan data yang dimaksud adalah cara-cara atau tahapan yang dilalui dalam pengumpulan data. Teknik pengumpulan data dengan tes untuk mengukur pemecahan masalah pada bangun datar  dan non tes untuk mengukur kemampuan komunikasi  siswa terhadap matematika dengan tahapan sebagai berikut:

1.    Menyusun instrument penelitian (silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, kisi-kisi soal pretest dan posttest untuk mengukur kemampuan pemcahan masalah pada bangun datar, dan kemampuan komunikasi terhadap pembelajaran matematika, serta rubrik penskoran sesuai dengan variabel yang akan diteliti).

2.    Meminta beberapa Dosen ahli untuk memvalidasi instrument penelitian.

3.    Melakukan ujicoba instrument penelitian.

4.    Estimasi reliabilitas instrument penelitian.

5.    Revisi instrument penelitian.

6.    Memberikan pretest kepada kedua kelompok siswa di masing-masing kelas.

7.    Melaksanakan penelitian secara bersama-sama dengan guru di sekolah.

8.    Melakukan pengamatan terhadap kemampuan komunikasi siswa

9.    Memberikan posttest kepada sampel penelitian.

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.    Tes pemecahan masalah

Bentuk instrument tes yang dipakai adalah uraian. Instrument tes dalam penelitian ini terdiri atas soal tes awal (pretest) yang digunakan untuk mengukur kemampuan awal dan tes akhir (posttest) untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah pada materi angun datar setelah perlakuan.

2.    Tes kemampuan komunikasi

Angket kepercayaan diri berbentuk dafar cocok (checklist) dengan menggunakan skala Likert yang terdiri atas lima, yaitu selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah. Pernyataan pada angket komunikasi digolongkan menjadi pernyataan positif dan pernyataan negatif.

Penyekoran untuk pernyataan positif dengan respon selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah berturut-turut adalah lima, empat, tiga, dua, satu. Untuk pernyataan negatif dengan respon selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah berturut-turut adalah satu, dua, tiga, empat, dan lima.

4.      Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Validitas Instrumen

Bukti validitas instrument yang diperlukan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) dan validitas konstruk (construct validity).

1.    Tes kemampuan pemecahan masalah

Untuk mengukur tes kemampuan pemecahan masalah bangun datar yaitu dengan menggunakan validitas isi (content validity).  Instrument mengacu pada sejauh mana item instrumen mencakup keseluruhan situasi yang ingin diukur. Validitas isi instrument tes dapat diketahui dari kesesuaian instrument tes tersebut dengan SK dan KD. Bukti validitas isi untuk instrumen tes kemampuan pemecahan masalah diperoleh berdasarkan expert judgement (Allen dan Yen, 1979:95-96). Dalam hal ini ahli berasal dari dosen program studi pendidikan matematika Universitas Negeri Yogyakarta. Validitas isi dikoreksi oleh ahli yang bertujuan untuk memperoleh bukti validitas isi kemudian direvisi berdasarkan masukan dari ahli.

 

2.    Angket kemampuan komunikasi

Pada instrument non tes yaitu angket kemampuan komunikasi matematis diukur dengan menggunakan validitas isi (content validity). Validitas isi menunjukan seberapa baik tes/non tes dari suatu pengukuran mewakili wilayah isi dari yang diukur dan bagaimana penekannya pada isi yang penting dalam pengukuran tersebut (Gronlund, 2009: 74). Instrument mengacu pada sejauh mana item instrumen mencakup keseluruhan situasi yang ingin diukur. Bukti validitas isi untuk instrumen tes kemampuan pemecahan masalah diperoleh berdasarkan expert judgement (Allen dan Yen, 1979:95-96). Dalam hal ini ahli berasal dari dosen program studi pendidikan matematika Universitas Negeri Yogyakarta. Validitas isi dikoreksi oleh ahli yang bertujuan untuk memperoleh bukti validitas isi kemudian direvisi berdasarkan masukan dari ahli.

Selain diukur dengan validitas isi, angket kemampuan komunikasi matematis juga diukur dengan menggunakan validitas kosntruk (construct validity). Validitas konstruk  mengacu pada sejauh mana suatu instrument mengukur trait atau konstruk teoritik yang hendak diukur(Allen dan Yen, 1979:108). Untuk memperoleh bukti validitas konstruk untuk instrument non tes , maka dilakukan uji coba pada SMP kelas VII. Data diperoleh dari hasil uji coba tersebut dianalisis dengan Factor Analysis. Analisis dilakukan dengan bantuan SPSS .

2.      Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas instrument tes dan non tes berhubungan dengan kepercayaan dan keajegan hasil ujicoba. Suatu ujicoba dapat dikatakan mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi jika ujicoba tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Untuk instrument ini dilakukan analisis dengan mencari indeks reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Adapun rumus Alpha Cronbach yang digunakan yaitu:

Keterangan:

          = koefisien reliabilitas

          = jumlah butir tes

     = jumlah varian skor tiap-tiap butir tes

        = varian skor total

(Ebel, 1986: 79)

Salah satu panduan umum untuk mengevaluasi koefisien reliabilitas yaitu  bahwa estimasi reliabilitas yang diharapkan paling sedikit 0,70, maka instrumen yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria.

Setelah memperoleh koefisien reliabilitas instrumen untuk masing-masing variabel dengan rumus Alpha Cronbach maka selanjutnya akan dilakukan perhitungan untuk memperoleh nilai SEM. Rumus yang digunakan untuk menghitung SEM adalah:

Keterangan:

 = eror standar pengukuran

 = standar deviasi skor

 = koefisien reliablitias intrumen

(Ebel, 1986: 80)

5.      Teknik Analisis Data

Data penelitian yang dianalisis adalah data kondisi awal dan akhir pada kemampuan pemecahan masalah bangun datar, dan  kemampuan komunikasi matematis. Data kondisi awal untuk mengetahui gambaran awal kedua kelompok siswa, selanjutnya kondisi akhir untuk memdeskripsikan data perbedaan keefektifan model pembelajaran Probem Based Learning dan Discovery Learning. Adapun analisis yang dilakukan adalah:

1.    Analisis Deskriptif

Data penelitian yang akan dianalisis adalah data pretest dan posttest kemampuan pemecahan masalah bangun datar, dan  kemampuan komunikasi matematis. Analisis deskriptif data pretes untuk mendeskripsikan kondisi awal dari dua kelompok siswa yang dilibatkan dalam penelitian, sedangkan analisis deskriptif  data posttest digunakan untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Probem Based Learning dan Discovery Learning.

Analisis data yang dimaksud, pembelajaran dikatakan efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah bangun datar dilihat dari pekerjaan siswa dilihat dari hasil pretest dan posttest. Sedangkan untuk komunikasi matematis siswa menggunakan persentase kriteria siswa dalam kategori.

Kategori keefektifan model pembelajaran aspek afektif yaitu kemampuan komunikasi matematis diperoleh dengan menggunakan instrument non-tes yang berbentuk checklist dengan skala likert. Data yang diperoleh digolongkan dalam kriteria berdasarkan tabel.

Kategorisasi komunikasi matematis siswa

No

Interval

Rentang Skor (X)

Kriteria

1.

X4,2

Sangat Baik

2.

3,4X4,2

Baik

3.

2,6X3,4

Cukup

4.

1,8X2,6

Kurang

5.

X1,8

Sangat Kurang

(Eko P. Widoyoko, 2009: 238)

Keterangan:

Untuk menentukan kriteria hasil pengukurannya digunakan klasifikasi berdasarkan:

 = Rerata ideal, = (skor maksimum ideal + skor minimum ideal)

 = Simpangan baku ideal, (skor maksimum ideal – skor minimum ideal)

X = Skor empiris

Setelah menetapkan data pengukuran kepercayaan diri siswa terhadap matematika, skor total masing-masing unit dikategorikan berdasarkan kriteria pada tabel di atas. Total skor semua unit yang telah terkumpul kemudian dihitung presentasenya untuk masing-masing kategori sangat baik, baik, cukup, kurang, dan sangat kurang.

2.     Analisis Inferensial 

a. Keefektifan model pembelajaran

Keefektifan model pembelajaran ditentukan berdasarkan hasil pretes dan posttest kemampuan pemecahan masalah dengan rubrik penskoran. Rubric penskoran terlampir.

Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

1.    Ho :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning  efektif ditinjau dari keampuan pemecahan masalah)

2.          Ho :  75,00 (Model pembelajaran  Discovery Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah)

3.    Ho :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan komunikai matematis)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Problem Based Learning efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis

4.    Ho :  75,00 (Model pembelajaran Discovery Learning tidak efektif ditinjau dari kemampuan komunikai matematis)

Ha :  75,00 (Model pembelajaran Discovery Learning efektif ditinjau dari kemampuan komunikai matematis)

Selanjutnya dilakukan uji one sample t-test dengan menggunakan bantuan Microsoft excel yaitu untuk melihat keefektifan masing-masing model pembelajaran kemampuan pemacahan masalah bangun datar dan komunikasi matematis siswa. Untuk melakukan uji one sample t-test jika data berdistribusi normal. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:

    adalah  rata-rata skor sampel

  adalah  rata-rata skor yang ditetapkan

    adalah  standar deviasi sampel

    adalah banyaknya anggota sampel

(Tatsuoka, 1971: 77)

Kriteria keputusan adalah  ditolak jika  dengan taraf signifikansi α = 0,05.

b. Komparasi model pembelajaran

Untuk menyelidiki perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan komunikasi matematis dilakukan dengan uji multivariat kemudian dilanjutkan uji univariat yaitu uji t untuk menentukan variabel mana yang berkontribusi terhadap perbedaan keseluruhan. Adapun tahapan pengujian adalah sebagai berikut:

a.    Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data dari masing-masing variabel berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan terhadap data yang diperoleh baik sebelum maupun setelah treatment meliputi data hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan angket kemampuan komunikasi matematis siswa, baik pada kelompok yang menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan Discovery Learning

Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu uji Kolmogorov-Smirnov. Keputusan uji dan kesimpulan diambil pada taraf signifikansi 0,05 dengan kriteria: 1) jika signifikansi lebih besar dari 0,05 maka data berdistribusi normal; 2) jika signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.

Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut.

H0 = data yang akan diuji berdistribusi normal

Ha = data yang akan diuji tidak berdistribusi normal

Berikut hasil analisis uji normalitas yang dilakukan dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel.

b.    Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan data kondisi awal maupun data kondisi akhir. Uji homogenitas dimaksudkan untuk menguji kesamaan matriks varians-kovarians dari variabel dependen pada penelitian ini. Uji homogenitas terhadap kemampuan pemcahan masalah dan komunikas matematis  secara bersama-sama menggunakan uji Box’s M test melalui program Microsoft Excel. Kriteria pengujian ditetapkan bahwa nilai signifikansi (probabilitas) yang dihasilkan lebih besar atau sama dengan 0,05 maka varians-kovarians dari variabel dependen sama atau homogen.

c.    Uji Hipotesis

Untuk analisis dengan multivariat, data yang dianalisis adalah data yang diperoleh dari pretest, posttest, dan angket kepercayaan diri sebelum dan setelah treatment.

1.    Uji Multivariat Kondisi Awal

Pengujian hipotesisnya sebagai berikut:

H0: Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor pretest dan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Problem Based Learning dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning

Ha:  Terdapat perbedaan perbedaan rata-rata skor pretest dan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning.

2.        Uji Multivariat Kondisi Akhir

Pengujian hipotesisnya sebagai berikut:

H01: Tidak terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Ha1:  Terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Secara statistik hipotesis di atas, dapat disimbolkan sebagai berikut:

(Tidak Terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa)

(Terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran Problem Based Learning  dan pada kelas yang akan diterapkan model pembelajaran Discovery learning ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa)

Dimana  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemacahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemacahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning. Sedangkan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning.

Perhitungan untuk menguji hipotesis kondisi awal dan kondisi akhir di atas, menggunakan uji multivariat. Uji multivariat menggunakan statistik T2 Hotelling dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

   : Hotelling Trace

   : ukuran sampel kelas PBL

   : ukuran sampel kelas DL

   :  vektor rata-rata skor kelas PBL

   :  vector rata-rata skor kelas DL

:  invers matriks kovarian

(Stevens, 2009: 148)

Selanjutnya nilai  ditransformasikan untuk memperoleh nilai dari distribusi F dengan menggunakan formula sebagai berikut:

(Stevens, 2009: 148)

Kriteria keputusannya adalah tolak H01 jika Fhitung  Ftabel (derajat bebasnya dk1= p dan dk2= n1+n2 - p - 1. Pengujian dilakukan menggunakan bantuan Microsoft Excel sehingga kriteria keputusannya yaitu tolak H01 jika p-value 0,05.

3.        Uji Univariat

Jika uji hipotesis multivariat kondisi akhir menyatakan bahwa terdapat perbedaan keefektifan model pembelajaran dengan Problem Based Learning dan model pembelajaran Discovery Learning ditinjau dari kemampuan pemecahan maslaah  bangun datar, dan kemampuan komunikasi matematis , maka dilakukan uji lanjut yaitu statistik uji t univariat dengan asumsi yang harus dipenuhi adalah data berdistribusi normal dan homogen.

Pengujian hipotesis untuk prestasi belajar adalah sebagai berikut:

H02: Model pembelajaran Problem Based Learning tidak lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah.

Ha2:  Model pembelajaran Problem Based Learning  lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah

Secara statistik, hipotesis di atas dapat disimbolkan sebagai berikut:

H02 :

Ha2 :

Dimana  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemecahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan pemacahan masalah Bangun Datar dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning.

Pengujian hipotesis untuk kemampuan komunikasi matematis adalah sebagai berikut:

H03: Model pembelajaran Problem Based Learning  tidak lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis.

Ha3:  Model pembelajaran Problem Based Learning  lebih efektif dibanding model pembelajaran Discovery Learning dengan pendekatan penemuan terbimbing ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis

Secara statistik, hipotesis di atas dapat disimbolkan sebagai berikut:

H03 :

Ha3 :

Dimana  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan  menyatakan rata-rata (mean) dari kemampuan komunikasi matematis dengan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning denganPengujian hipotesis untuk kemampuan komunikasi matematis adalah sebagai berikut:

Pengujian hipotesis di atas, akan diuji menggunakan uji t univariat. Kriteria yang digunakan adalah kriteria Bonferroni dimana taraf signifikansinya adalah /(2), jadi = 0,05% untuk masing-masing uji t digunakan kriteria 0,05/2 = 0,025. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Jika  maka statistic uji yang digunakan adalah uji t dengan rumus.

(Stevens, 2009: 147

Jika  maka statistic uji yang digunakan adalah uji t dengan rumus.

Keterangan:

          :  nilai rata-rata kelompok PBL

          :  nilai rata-rata kelompok DL

          :  variansi kelompok PBL

          :  variansi kelompok DL

          :  banyaknya subyek PBL

          :  banyaknya subyek DL

Kriteria keputusannya adalah untuk  maka  ditolak jika  dan untuk  maka  ditolak jika  dengan

DAFTAR PUSTAKA

 

Anderson, L. W. (2000). Assesing affective characteristics in the schools (2nd ed.). USA: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

 

 

Arend, B. (2009). Encouraging critical thinking in online threaded discussions. The Journal Educator Online, volume 6, 1-23.

 

Arends, R. I. (2008). Learning to teach: belajar untuk mengajar. Diterjemahkan oleh Helly Prayitno Soetjipto dan Sri Mulyani Soetjipt. Jakarta: Pustaka Belajar.

 

Arends, R. I., & Kilcher, A. (2010). Teaching for student learning becoming an accomplished teacher. Madison Avenue: Routledge Taylor and Francis Group.

 

Bell, F. H. (1978). Teaching and learning mathematics (in scondary school). Iowa: Wm. C. Brown Company.

 

Brown, D.H. (2000). Principles of language learning and teaching (4th ed). San Fransisco State University: Addison Wesley.

 

Buskist, W., & Irons, J.G. (2008). Simple strategies for teaching your students to think critically. Teaching Critical Thinking in Psychology. A Handbook of Best Practices. Chichester: John Willey-Sons, Ltd., Publication.

 

Carrol, D. W., Kenniston, A.H., & Peden, B. F. (2008). Integrating critical thinking with course content. Teaching Critical Thinking in Psychology. A Handbook of Best Practices. Chichester: John Willey-Sons, Ltd., Publication.

 

Depdiknas. (2009). Pembelajaran yang mengembangkan critical thinking. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

 

-----------.(2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54, Tahun 2013, tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah

 

Dick, W., Carey, L., & Carey, J.O. (2001). The systematic design of instruction(5th ed). New york:  addison-weley educational publisher inc.

 

Dimyati & Mudjiono. (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Djemari Mardapi. (2008) Teknik Penyusunan Tes dan Nontes. Jogjakarta, Mitra Cendikia Offset.

Druckman, D. & Bjork, R.A. (1994). Learning, remembering, believing. USA: National Academy of Sciences.

 

Eggen, P. & Kauchak, D. (2010). Educational physicologi windows and classrooms. New Jersey: Pearson Merrill.

 

Eko Putra Widoyoko. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Elliot, S.N., Kratochwill, R.T., Cook, L.J., et al. (2000). Educational psychology: effective teaching, effective learning. New York: The Mc Graw Hill Companies, Inc.

 

Ennis, R.H. (1996). Critical thinking disposition: their nature and assessability. Informal Logic, vol 18, no 2 & 3, 165-182.

 

Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.

 

Eynde, P. O., De Corte, E., & Verschaffel, L. (2002). Framing students’ mathematics related beliefs. Dalam G. C. Leder, E. Pehkonen, & G. Toner (Eds.), Beliefs: A Hidden Variable in Mathematics Education? (pp 13-37). USA: Kluwer Academic Publisher.

 

Fisher, A. (2007). Berpikir kritis sebuah pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

 

Flammer, A. (1995). Developmental analysis of control beliefs. Dalam A. Bandura (Ed.), Self-efficacy in Changing Societies (pp 69-113). USA: Cambridge University Press.]. Elder (1995: 62) [Elder, G.H., Jr. (1995). Life trajectories in changing spcieties. Dalam A. Bandura (Ed.), Self-efficacy in Changing Societies (pp 46-68). USA: Cambridge University Press. Gable, R. K. (1986). Instrument development in the affective domain. USA: Kluwer-Nyhoff

 

Publishing.

 

Gambrill, E., & Gibbs, L. (2009). Critical thinking for helping professional. Madison Avenue: OXFORD University Press.

 

Grassi, C. (2004). Gender-based achievement, self-convidence and enrollment gaps: mathematics at trinity college. Diunduh pada tanggal 8 September 2014 dari http://www.trincoll.edu/depts/educ/Recearch/Grassi.pdf

 

Hannula, M.S., Maijala, H., & Pehkonen, E. (2004). Development of understanding and self confidence in Mathematics; grades 5-8. Journal of Mathematics education, 3, 17-24. Diambil pada tanggal 8 September 2014 dari http://www.emis.de/proceedings/PME28/RR/RR162_Hannula.pdf

 

Herman Hudojo. (1988) Mengajar  belajar matematika, Debdikbud, Jakarta.

 

Herni Rosita. (2006). Hubungan antara perilaku asesif dengan kepercayaan diri pada mahasiswa. Diunduh pada tanggal 8 September 2014 dari http://www.gunadrama.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2007/Artikel_10502099.pdf

 

Huitt, W. (Februari 1992). Problem solving and decision making: Consideration of individual differences using the myers-briggs type indikator. Journal of psicological type, 24, 33-44. Diambil pada tanggal 18 Agustus 2014. http://chiron.valdosta.edu/whuitt/context/infoage.html

 

Johnson, E. B. (2009). Contextual teaching and learning; Menjadikan kegiatan belajar mengajar mengasyikan dan bermakna. Bandung: Mizan.

 

Jhonson, D. W & Jhonson, R. T . (1987). Learning together and alone: cooperative, comvetitive, and individualistic learning. (2nd ed). New Jersey: Prentice-Hell,Inc.

 

Joyce, B & Weil, M. (2004). Model of  teaching. Seventh edition. Boston: pearson education, inc.

 

Jurdak, M. (2009). Toward equity in quality in mathematics education. New York: Springer Science Business Media, LI.C.

 

Kuebli, J. E., Harvey, R.D., & Korn, J. H. (2008). Critical thinking in critical course: prinsiples and applications. Teaching Critical Thinking in Psychology. A Handbook of Best Practices. Chichester: John Willey-Sons, Ltd., Publication.

 

Lefrancois, G. R. (2000). Psychology for teaching. Belmont: Wadsworth.

 

Lie,  A.  (2002).  Cooperative  learning;  mempraktekkan  cooperative  learning  di ruang-ruang kelas. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

McLeod, D.B. (1991). The role of affect. Dalam Fennema, E., Carpenter, T.P., & Lamon, S. J. (Eds.), Integrating Research on Teaching and Learning Mathematics (pp 56-82). New York: State University New York Press, Albany.

 

Manning, G. & Curtis, K. (2003). The art of leadership. New York. McGrawHill.

 

Markaban. (2006). Model pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing. Yogyakarta: Depdiknas.

 

Middleton, J.A. & Spanias, P.A. (1999). Motivation for achievement in mathematics: findings, generalization, and criticismn of the research. Journal for research in Mathematics Educations, 30, 65-88.

 

Molloy, A. (2010). Coach your self to success mimpi tercapai, target terpenuhi. (Terjemahan Retnadi Nur’aini dari ASPIRATIONS: 8 Easy Steps to Coach Yourself to Succes). New Zealand: Random House New Zealand. (Buku asli diterbitkan tahun 2003).

 

 

Mayer, R. E. (January 2004). Should there be a three-strikes rule against pure discovery learning; the case for guided method of instruction. American psychologist. University of California, Santa Barbara. Vol. 59, No. 1, 14-19. Diambil pada tanggal 18 Agustus 2014, dari www.davidlewisphd.com/courses/EDD8001/weeklys/2004-Mayer.pdf.

 

Moon, J. (2008). Critical thinking. An exploration of theory and practice. Madison Avenue: Routledge Taylor & Francis.

 

Moore, K. D. (2009). Effective instructional strategies: from theory to practice. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc.

 

Muijs, D., & Reynolds, D. (2005). Effective teaching evidence and practice. (2nd ed.). London: SAGE Publication.

 

NCTM. (2000). Principles and standars for school mathematics. USA: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

 

Nitko, Anthony J. & Susan M. Brookhart. (2007). Educational Assesment of Students. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.

 

 

Nunes, et al. (2009). Development of maths capabilities and confidence in primary School. Research Rreport DCSF-RR118.

 

Nur Gufron, M. Rini, RS. (2010). Teori-teori psikologi. Jogjakarta: Ar-Zuzz media.

 

Oemar, Hamalik. (2009). Proses belajar mengajar. Jakarta: Bumi aksara.

Okuba, K. (2007). Mathematical thinking from the perspectives of problem solving and area of learning contents:in Progress report of the APEC project: “Colaborative Studies on Innovations for Teaching and Learning Mathematics in Diferent Cultures (II) – Lesson Study focusing on Mathematical Thinking -”, Tokyo: CRICED, University of Tsukuba.

 

Orlich, D.C, Harder, J.R., Callahan R.C., et al. (2007). Teaching strategies. A guide to effective instruction. Boston: Houghton Mifflin Company.

 

 

Orton, Anthony. (2004). Learning Mathematics: Issues, theory and classroom practice. (3rd ed). New York: Continuum.

 

Parson, S., Croft, T., & Harrison, M. (2001). Engineering students self-confidence in mathematics mapped onto Bandura’s self-efficacy. Engineering Education. Vol: 6 issue 1, pp: 52-61.

 

Paul Suparno (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

 

Preston, D. W. (2007). 365 steps to self-confidence. UK: British Library Cataloguing.

 

Romberg,T.A., & Kaput,J.J.(2009). Mathematics worth teaching, mathematics worth understanding. Dalam E. Fennema  &  T.A.  Romberg  (Eds.), Mathematics  classrooms  that  promote  understanding  (pp.  3-18). Mahwah, NJ: Taylor & Francis e-Library.

 

Renstein, A., & Lander, G.H. (1990). Developing critical thinking in college programs. Journal of Scientific. Exploration, Vol.4, No. 2. 123-136.

 

Roe, B.D., & Ross, E.P. (1994). Student teaching and field experiences handbook (4th edition). New York: Macmillan Publishing Company.

 

Santrock, J. W. (2009) Psikologi pendidikan (edisi 3). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

 

Saurino, D. R. (2008). Concept journaling to increase critical thinking dispositions and problem solving skills in adult education. The Journal of Human Resource and Adult Learning, Vol. 4, Num. 1, 170-178.

 

Schiro, M. S. (2009). Mega-fun math games and puzzles for the elementary grades. USA: John Wiley & Sons, Inc.

 

Schunk, D. H. (2008). Learning theories: An educational perspective. (5rd ed). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.

 

Sharan. Shlomo. (2009). Handbook of Cooperative Learning (Inovasi Pengajaran dan Pembelajaran untuk Memacu Keberhasilan Siswa di Kelas). Yogyakarta: Imperium.

 

Sherman. B. F. and Wither. D. P. (2003), Mathematics Anxiety and Mathematics Achievement. Diambil pada tanggal 8 September 2014 dari  http://www.ejmste.com/v3n4/EJMSTE_v3n4_Akinsola_etal.pdf

 

Slavin, R.E. (2005). Cooperative learning: teory, research, and practice (2nd ed). Sydney: AllymandBroon.

 

Slavin, R. E. (2006). Educational psychology: theory into practice. Boston: Allyn and Bacon.

 

Stahl, R. J. (1994) Cooperative learning in social studies: A Handbook for Teacher. New York: Addision Wesley Publishing Company, Inc.

 

Stevens, T. G. (2010). Self-confidence-our expectations of success. Diambil tanggal 19 Oktober 2011 dari http://www.csulb.edu/~tstevens/h54confi.htm.

 

Stevenson. H. W.et. al (1998). Mathematics achievement of Chinese, Japanese and American childrent. Diambil pada tanggal 8 September 2014 pada http://www.spa.ucla.edu/ps/pdf/s99/PS294assign/achievement.pdf

 

Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Innovative, Progresif. Surabaya: Kencana Prenada.

 

Van de Walle, J. A. (2007). Sekolah dasar dan menengah: pengembangan pengajaran. (Terjemahan Suyono ). Jakarta: Erlangga.

 

Westwood, P. (2008). What teachers need to know about teaching methods. Camberwell Victoria: ACER Press.

 

Wina Sanjaya, (2006). Strategi Pembelajaran berorientasi proses standar proses pendidikan, Jakarta : Kencana Prima.

 

Yoder, J. & Proctor, W. (1988). The self-confident  child. New York: Fact on File Publications.

 

Zimmerman, B.J., Bonner, S., & Kovach, R. (1996). Developing self-regulated learners beyond achievement to self-efficacy (psychology in the classroom). USA: American Psychological Association.